Senin, 16 April 2018

Jihad Adalah Sebuah Jalan, Bukan Tujuan


Fakta bahwa Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting adalah hal yang tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya “hitam-putih” dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.
Para jihadis dan “jihadis wannabe” menjadi sangat terobsesi untuk menghidupkan jihad di Indonesia karena terlalu banyak melihat apa yang terjadi di luar negeri tetapi melupakan apa yang sedang dihadapi di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya memahami kondisi kaum muslimin di sekitarnya dan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh ummat, dan di sisi lain mereka sangat antusias mengikuti perkembangan berita jihad dari seluruh penjuru dunia dan membaca materi-materi yang berkaitan dengan jihad melalui internet. Sehingga lahirlah generasi yang memandang jihad sebagai tujuan, bukan sebagai jalan perjuangan. Pemantik yang digunakan oleh pelaku hanya kosa kata jihad, fardhu ‘ain, Al-Qaeda dan mati syahid.
Para jihadis yang seperti ini bermadzhab bahwa jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrim lagi, hanya menjadikan mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat, pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid), ia sedang merancang kekalahan.
Lho kok bisa begitu ? Bukankah slogan mereka adalah “jihad jalan kami” ?
[ Pada penjelasan ini, saya banyak mengutip dari situs blog  elhakimi.wordpress.com. Tulisan-tulisan di dalam blog itu memang sangat menginspirasi saya selama ini ]
Orang yang menjadikan jihad sebagai jalan perjuangan akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad. Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Sementara yang menjadikan jihad sebagai tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu ‘ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad dan mengabaikan kondisi kaum muslimin. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya.
Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong menuju medan jihad? Untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada “pemantik” untuk menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di sini?
Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.
Salah satu yang sangat kurang dipahami dan dihayati para aktifis muslim adalah bahwa dakwah harus menjadi warna dominan dalam gerakan kemerdekaan Islam yang mereka usung. Jika bicara soal gerakan kemerdekaan Islam, yang menonjol terlihat baik oleh kawan atau lawan biasanya nuansa perlawanan fisik atau jihad bersenjata. Mereka umumnya terlalu tercelup dengan paradigma bahwa cara yang paling mujarab untuk memerdekakan Islam adalah jalan senjata alias jihad. Jalan paling pintas untuk memerdekakan Islam adalah jihad. Dakwah? Terlalu lama. Begitulah umumnya persepsi yang ada di benak aktifis yang kadung terobsesi jihad.
Padahal jika kita membaca sirah nabawiyah (sejarah perjuangan Nabi saw), kesan yang lebih kuat muncul dari sosok Rasulullah dan sepak terjangnya dalam menegakkan Islam adalah pendekatan dakwah. Jihad yang dilakukan Nabi Muhammad saw terkesan hanya sebagai jalan darurat dan terakhir jika pendekatan dakwah buntu. Atau sebagai alat untuk menyingkirkan hambatan dakwah yang membandel.
Obsesi Nabi Muhammad saw dalam memberi hidayah dan mengajak masyarakat untuk masuk Islam menjadi karakter yang melekat, termasuk saat melakukan jihad fi sabilillah. Titik awal perjuangan Nabi saw adalah dakwah. Obsesi Nabi saw adalah bagaimana menemukan cara yang paling sedikit menimbulkan korban tapi paling efektif dalam menyebarkan hidayah kepada umat manusia.
Jihad termasuk dalam paradigma ini. Meminimalisir korban, baik dari pihak muslimin maupun dari pihak musuh menjadi pertimbangan kuat. Contoh kasusnya ada dalam riwayat berikut ini:
“Khalid bin Walid menarik pasukannya dari medan jihad pada pertempuran Mu’tah, karena khawatir akan dibinasakan musuh. Jumlah pasukan musuh 200.000 orang, sementara jumlah pasukan mujahidin hanya 3.000 orang. Tatkala pulang ke Madinah, penduduk Madinah menyambutnya dengan taburan pasir di wajah pasukan, seraya mencibir: Wahai pasukan yang lari dari pertempuran, kalian lari dari jalan Allah ! Nabi saw mendengarkan cibiran mereka, bersabda: Mereka bukan pasukan yang lari kabur karena pengecut tapi menarik diri karena strategi insyaallah. (ar-raudh al-anif 7/19)”.
Khalid bin Walid r.a memahami dan menghayati benar paradigma “obsesi untuk memberi hidayah sebanyak mungkin manusia” dari Rasulullah saw. Dalam kalkulasinya, ditariknya 3.000 prajurit muslim karena khawatir binasa oleh musuh yang lebih besar, masuk dalam bingkai paradigma ini.
Jihad melawan pasukan kafir tujuan besarnya adalah menyebarkan hidayah kepada manusia. Maknanya, dengan asumsi tewasnya 3.000 orang yang telah mendapat hidayah karena memaksakan diri melawan musuh yang jumlahnya terlalu besar, adalah bagian dari menjaga 3.000 orang ini untuk bisa memainkan fungsi sebagai aagen hidayah. Kematian mereka bermakna matinya 3.000 dai yang akan menerangi manusia dengan kebenaran Islam yang mereka pahami. Sementara musuh malah makin bangga karena berhasil membabat habis pasukan Islam, dan akan makin besar arogansinya untuk menerima hidayah.
Jika jihad melawan musuh yang jumlahnya tidak rasional, hasil dakwah yang berjumlah 3.000 orang akan habis, sedangkan musuh tak berhasil dikalahkan dan tetap tak tersentuh hidayah. Jihad bukan untuk memuaskan adrenalin perang dan sekedar pamer kepahlawanan yang tak gentar menghadapi musuh yang jumlahnya tak rasional sekalipun. Tapi jihad adalah subordinat dakwah, ia tunduk pada paradigma besar dakwah: menyebarkan hidayah kepada sebanyak mungkin penduduk bumi. Jika jihad merugikan dakwah, maka jihad harus dihentikan atau ditinjau ulang.
Dalam kasus ini, memaksakan diri melanjutkan jihad dikhawatirkan akan menghilangkan 3.000 orang hasil dakwah, sementara hasil jihad bagi musuh justru melahirkan kebanggaan karena berhasil membantai 3.000 prajurit muslim. Dengan kata lain, hasil jihad berupa “mengalahkan musuh” atau minimal “menimpakan kerugian maksimal kepada musuh”  tidak tercapai, tapi hasil dakwah berupa Islamnya 3.000 orang (pasukan Islam) justru akan binasa. Maka keputusan Khalid didukung oleh Rasulullah saw, dan ini tidak dipandang sebagai sisi kelemahan bagi seorang komandan perang kawakan semacam Khalid bin Walid r.a.
Contoh lain adalah dalam Perang Khaibar, di mana diriwayatkan dalam riwayat Bukhari:
“Dari Sahal bin Saad ra, Rasulullah saw bersabda pada perang Khaibar: Besok aku akan serahkan panji perang kepada seorang laki-laki yang Allah akan memberi kemenangan melalui tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Pada malam harinya, seluruh pasukan kasak-kusuk menebak siapa yang akan beruntung dan masing-masing berharap dirinya yang akan terpilih. Esoknya, Rasulullah saw bertanya: Mana Ali? Ada yang menjawab: Dia sedang sakit mata ya Rasulullah. Lalu Rasulullah saw meludahi kedua matanya dan mendoakannya, setelah itu matanya langsung sembuh seperti tak ada bekas sakit. Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji perang kepadanya.
Ali bin Abi Thalib ra bertanya: Apakah aku diperintahkan untuk memerangi mereka agar menjadi seperti kita semua? Rasulullah saw menjawab: Berangkatlah dengan senyap, hingga engkau mencapai tanah pekarangan mereka. Sampaikan dakwah (ajakan) kepada mereka untuk masuk Islam, dan ajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, engkau dapat memberi petunjuk satu orang dengan ijin Allah lebih baik dibanding engkau mendapat hadiah onta terbaik”.  (Shahih Bukhari no hadits 2847)
Khaibar adalah wilayah yang dikuasai Yahudi, dengan benteng yang terkenal kokoh. Yahudi dikenal keras kepala dan memiliki sifat dengki yang dalam. Meski demikian, briefing sebelum memberangkatkan pasukan untuk menyerang Khaibar tetap dibingkai misi dakwah. Maknanya, obyek jihad dari ideologi apapun tetap harus menjadikan misi dakwah lebih ditonjolkan.
Misi dakwah dalam perang Khaibar: Masuk Islamnya satu orang Yahudi, lebih berharga dari harta termahal saat itu, onta merah. Rasulullah saw hendak memberi barometer, bahwa keberhasilan seorang mujahid dalam mengislamkan musuhnya lebih membanggakan dibanding keberhasilan membunuhnya atau merebut ghanimah darinya.
Barometer ini meresap menjadi sikap mental para Sahabat saat melaksanakan misi jihad. Dan semestinya menjiwai para aktifis yang terobsesi dengan jihad saat ini. Jihad yang dijiwai dakwah akan  membuat jihad makin barokah.
Para aktifis perindu jihad di tanah air yang kemudian  ‘ngiler’ melihat pertumbuhan jihad di belahan dunia lain yang sangat jauh itu lalu berharap : Kapan ya negeri ini kebagian anugerah jihad ? Kapan ya ada konflik yang bisa membuka ladang jihad ?
Masalahnya, apakah terbukanya ladang jihad di suatu negeri bermakna musibah ataukah anugerah ? Jika terbukanya ladang jihad harus diawali dengan pecahnya konflik (dalam bahasa hadits: fitnah) yang menimpa umat Islam, maka terbukanya ladang jihad adalah musibah. Bagaimana tidak, konflik niscaya memakan korban. Dan tercecernya darah kaum muslimin, terrenggutnya kehormatan muslimah dan terbunuhnya anak-anak generasi umat Islam, jelas sebuah kerugian dan kesedihan tak terkira.
Dari sudut pandang ini, terbukanya ladang jihad alias pecahnya konflik bersenjata melawan musuh yang jahat, jelas tak elok untuk dirindukan oleh para aktifis Islam yang mencintai umatnya. Tak patut bagi seorang muslim untuk merindukan tertumpahnya darah saudara sendiri oleh kejahatan musuh Islam, sekali lagi jika terbukanya ladang jihad tak terpisahkan dengan episode pendahuluan berupa fitnah berdarah-darah menimpa umat Islam.
Atas dasar logika ini, rasanya tak patut bagi aktifis muslim untuk berharap pecah konflik (fitnah) hanya karena menginginkan barokah di baliknya; lahirnya ladang jihad baru. Tugas kita hanya melakukan ibadah sesuai kebutuhan waqi’ yang Allah sediakan. Jika ladang yang ada cocoknya digarap dengan ibadah dakwah, jangan meminta kepada Allah untuk merobahnya menjadi ladang jihad ketika kita merasa belum menunaikan ibadah sesuai tuntutan sikon yang ada secara maksimal. Sebab di balik permintaan itu terkandung harapan pecahnya konflik yang akan menjadi musibah bagi umat Islam. Lakukan saja ibadah secara maksimal sesuai kebutuhan situasi dan kondisi.
Biarlah jihad turun dari langit sebagai sebuah anugerah, jangan diminta-minta, sebab jihad adalah amanat, sebagaimana jabatan. Orang yang tak sabar dan meminta percepatan, biasanya malah tak mampu menanggung beban permintaanya sendiri. Allah Maha Tahu, kapan para hambaNya dinilai sudah memiliki kesiapan untuk menerima anugerah bernama ladang jihad. Terbukanya ladang jihad di Afghanistan, Chechnya, Iraq, Suriah, dll adalah anugerah langit yang tak direncanakan manusia, seiring dengan kesiapan mujahidin di negeri-negeri tersebut untuk menyambutnya. Anugerah selalu disesuaikan dengan kesiapan hamba dan kelayakan kualifikasinya. Jika direkayasa, dikhawatirkan akan prematur. Biarlah Allah menilai kesiapan kita. Oleh karenanya, kesibukan kita adalah memastikan kesiapan diri dalam segala hal, bukan memancing fitnah yang akan membuat darah umat tercecer akibat ulah kita.  
Wallahu a’lam bisshowab.