Selasa, 26 Juni 2018

Inspirasi dari Cerita “Kungfu Panda 3”


Dalam film Kungfu Panda 3, si tokoh utama yaitu Po dan kawan-kawannya harus menghadapi seorang penjahat maniak ‘Chi’ yang bernama Kai. Untuk bisa mengalahkan Kai, Po harus bisa menguasai teknik penggunaan Chi di mana dia harus mempelajarinya di kampung panda tempat kelahirannya. Ketika Kai telah mengalahkan semua pendekar Istana Jade termasuk Shifu dan hanya menyisakan Tigres, harapan untuk mengalahkan Kai tertumpu pada Poo seorang. Celakanya dia belum menguasai Chi ketika Tigres datang memberitahukan kekalahan para Pendekar Istana Jade.
Pada saat itu dia kecewa dengan ayahnya yang ternyata tidak bisa mengajarinya membangkitkan Chi dan bahwa yang dia lakukan selama ini hanyalah mempelajari kehidupan masyarakat kampung Panda, sementara Kai semakin merajalela, akhirnya dia menemukan sebuah titik balik setelah mendengar perkataan ayahnya. Saya kutipkan dialog penting yang paling saya ingat dalam film itu.
“ Kau tak akan bisa mengalahkan Kai dan pasukan Zombienya Kecuali kau punya pasukan sendiri yaitu kami dan kita semua”, begitu kata ayahnya.
“ Tapi kalian tidak bisa kungfu ?”, sergah Po.
“ Kau akan mengajari kami. Kami bisa belajar kung fu. Kami bisa jadi sepertimu”, kata ayahnya lagi.
Tiba-tiba Po teringat kata Master Shifu beberapa waktu sebelumnya, bahwa Shifu mengajarinya kungfu bukan agar bisa menjadi seperti dirinya, tetapi agar Po bisa menjadi dirinya sendiri yang lebih hebat dari Master Shifu sebagaimana harapan Master Oogway.
Dengan tersenyum Po kemudian berkata : “Kalianmemang tidak bisa kungfu.Dan kalian tak perlu jadi diriku.Aku tak perlu merubah kalian sepertiku.Aku akan merubah kalian jadi kalian”.
Semua yang mendengarnya kebingungan, hanya Po seorang yang tersenyum senang.
Keesokan harinya Po mulai belajar menjadi seorang Guru yang mengajarkan ‘kungfu’ kepada semua panda yang ada di kampung panda.
“ Kekuatan kalian datang dari keahlian utama kalian.Siapa kalian? Apa yang kalian kuasai? Apa yang kalian sukai? Apa yang membuat kalian jadi kalian?”, itulah perkataan Po kepada para Panda sebelum ia mulai mengajarkan ‘kungfu’.
Yang ia ajarkan kemudian hanyalah mengasah dan meningkatkan kemampuan yang sudah dimiliki oleh para panda itu sebelumnya seperti : anak-anak penendang pangsit, gadis pemain tongkat dan pita, yang suka berguling-guling dari atas bukit, yang suka melemparkan diri dengan ketapel pohon bambu, sampai yang hanya suka memeluk orang. Semuanya diasah dan ditingkatkan lagi sampai cukup untuk bisa digunakan dalam menghentikan serangan lawan. Jadi yang Po lakukan hanyalah berkata “ Bagus, Tingkatkan lagi”, tanpa mengajarkan gerakan-gerakan kungfu yang ia kuasai.
Sampai akhirnya ketika semua telah dirasa cukup, barulah Po memaparkan strateginya. Yang intinya adalah semua harus disiplin menempati posnya masing-masing, semua harus bergerak sesuai komando darinya, dan semua harus fokus pada yang dihadapinya masing-masing. Po sendiri bertindak sebagai umpan yang memicu semua rangkaian strategi itu dan yang akan mengakhirinya.
Sebuah potret kerjasama dan kekeluargaan yang indah, yang menghasilkan sebuah kekuatan besar tanpa merubah apapun yang ada pada masing-masing panda di kampung panda tersebut. Semua panda bekerja dengan keahliannya masing-masing, tetapi mengikuti arahan dan komando dari Po. Karena Po menyadari bahwa kekuatan terbesar adalah pada hal yang paling dikuasai dan paling disukai. Tidak ada yang perlu diubah, hanya perlu ditingkatkan dan diarahkan.
 Itulah yang seharusnya kita lakukan pada segenap komponen umat Islam. Kita tidak perlu mengubah mereka menjadi jihadis semua atau menjadi da’i semua atau menjadi ilmuwan semua. Karena pada dasarnya semua orang telah memiliki bekal keahlian unik masing-masing untuk menunjang kesuksesan mereka. Yang perlu kita lakukan adalah memotivasi mereka dan mengarahkan potensi mereka. Ya...! Kita hanya perlu berkata “ Bagus, Tingkatkan lagi” kepada semua komponen umat Islam. Hingga pada saatnya nanti kita menyusun strategi bersama dan masing-masing orang harus disiplin dan fokus pada tugasnya masing-masing demi tercapainya cita-cita bersama.
Bukan dengan berkata : “Kalian harus mengikuti jalan kami jika ingin memperjuangkan Islam”, yang berarti membatasi jalan perjuangan hanya pada jalan yang ditempuh oleh sekelompok orang. Juga tidak dengan berkata : “Kalian ini salah, kalian tidak akan bisa mencapai tujuan kalian dengan cara seperti itu” yang berarti merendahkan semua jerih payah mereka selama itu. Kita harus menghargai semua usaha yang telah dilakukan oleh segenap komponen ummat meskipun pasti kita temukan banyak kesalahan dan kekurangannya. Dan kita harus menyadari bahwa tanpa mereka perjuangan kita tidak akan berhasil.
Bila diringkas, pelajaran yangbisa saya ambil dari kisah Po dan kawan-kawan itu adalah :
1. Bahwa kekuatan yang sebenarnya adalah apa yang ada pada diri kita masing-masing dan kita lah yang paling tahu bagaimana memaksimalkannya.
2.  Kesuksesan seseorang memang kita perlukan sebagai inspirasi, tapi kita tidak akan pernah bisa sama dengan kesuksesan orang itu. Kita bahkan seharusnya bisa lebih hebat dari dari orang yang menjadi inspirasi kita itu. Itulah yang diinginkan seorang guru pada murid-muridnya. Dan seharusnya itu pulalah yang kita inginkan dari para generasi penerus.
3.  Kekuatan yang dahsyat akan lahir jika kita bisa saling bekerjasama dan saling melengkapi

Demikianlah pelajaran yang saya ambil dari kisah Po dan kawan-kawannya. Mungkin terdengar konyol, seorang jihadis kok belajar dari kisah dalam film. Tapi bagi saya itu pelajaran yang sangat menginspirasi. Dan jujur, saya ingin seperti Po yang bisa menjadi inspirasi dalam meningkatkan potensi umat Islam dan bisa menjadi tali yang mengikat potensi ummat itu menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Dan untuk itu saya harus bisa diterima oleh semua komponen ummat, dan saya tidak boleh berjuang sendirian.

Sabtu, 19 Mei 2018

Peran Media Sosial Dalam Rangkaian Teror Depok-Surabaya

Dalam sepekan terakhir, Indonesia dilanda rentetan aksi terorisme pola baru. Pertama aksi teror dilakukan dengan menyerang, menyandera, dan membunuh secara sadis 5 polisi di dalam kerusuhan di Rutan Mako Brimob yang disiarkan secara langsung melalui media sosial milik para pelaku (8/5/2018). Kedua, penusukan aparat kepolisian di depan Mako Brimob (9/5/2018), kemudian pada (13/5/2018), kita dikejutkan dengan lagi dengan aksi teror di tempat ibadah umat Nasrani di Surabaya. Dan terakhir pada keesokan harinya (14/5/2018) ada serangan bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya. Selain itu ada juga percobaan penyerangan aparat kepolisian di Mako Brimob oleh dua orang gadis remaja bercadar dan penangkapan kelompok terduga teroris asal Cianjur yang menurut polisi ada yang sudah dalam perjalanan untuk melakukan serangan kepada aparat kepolisian.
Ada sebuah fakta menarik yang terungkap di media, yaitu isi BAP dua orang gadis yang mencoba menyusup ke dalam Mako Brimob Kelapa Dua Depok. (Lihat https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180513054628-12-297710/perintah-di-medsos-simpatisan-isis-buat-rusuh-di-mako-brimob )
Saya kutipkan sebagian isinya yang penting untuk kita ketahui :

Kepada Penyidik, DSM, yang merupakan pengajar Tajwid di Pesantren Darul Ulum, Cilacap, mengaku aktif mengikuti grup percakapan media sosial Whatsapp dan Telegram yang diketahuinya mendukung khilafah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi.
Pada Selasa (8/5) pukul 22.00 WIB, grup Telegram 'Taaruf Hani Ali' menginformasikan soal insiden di Mako Brimob itu. Bahwa, "ikhwan-ikhwan narapidana keluar dari sel dan menyerang pihak kepolisian".
Dalam grup percakapan Whatsapp 'Diskusi Dien', DSM menyebut bahwa Ustad Abu Abdirohman, yang merupakan ikhwan dari Depok, langsung datang ke Mako Brimob dan mengabarkan bahwa situasi Mako "sepi-sepi saja".
Abu, kata dia, kemudian memerintahkan, pertama, semua Anshor Daulah bergabung dan merapat ke Depok, membantu ikhwan-ikhwan di dalam semampunya, mulai dari bantuan harta, makanan, komunikasi, dan elektronik.
Kedua, kata dia, "Untuk membuat chaos atau rusuh di sekitar Mako Brimob Kelapa Dua."
Pada Rabu (9/5), DSM mengaku mendapat kabar bahwa 10 anggota Densus 88/Antiteror Polri terbunuh. Ia juga mengaku mendapat video yang dibagi oleh Amaq Media yang memperlihatkan sejumlah petugas tewas.
Ia kemudian tergerak. DSM menghubungi SNA, sesama anggota grup 'Turn Back Crime', melalui Whatsapp, dan mengabarkan keberangkatannya ke Bandung. SNA, yang disebut sebagai mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, mempersilakannya. DSM, yang tiba pada Kamis (10/5), kemudian dibawa adik kelas SNA untuk menginap di sebuah tempat yang disebut sebagai 'Darud Tauhid'.
Pada Jumat (11/5), DSM dan SNA berangkat ke Depok menggunakan bus melalui terminal Leuwipanjang, Bandung. Mereka tiba di Terminal Kampung Rambutan, Sabtu (12/5) pukul 01.00 WIB. Keduanya menumpang angkutan umum dan turun di Mc Donald Kelapa Dua, Depok.
Kami turun dari angkutan umum dan mencari mushola untuk sholat subuh dan istirahat, rencana kami akan melakukan aksi penyerangan di Mako Brimob pada malam hari," ujar dia, dalam BAP tersebut.
Namun, saat hendak memasuki musala keduanya langsung diamankan oleh petugas yang berpakaian preman dan dibawa ke kantor Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.
Dalam interogasi, DSM mengaku memiliki sejumlah tujuan dalam kedatangannya ke Mako Brimob. Pertama, menyusup masuk ke dalam kantor Mako Brimob untuk mencari informasi tentang keberadaan ikhwan-ikhwan dan mamastikan mereka sudah tidak berada di dalam Rutan Mako Brimob.
Kedua, apabila benar masih ada ikhwan-ikhwan di dalam rutan dirinya hendak membantu perjuangan mereka dengan menyerang aparat kepolisian sekuat tenaga.
"Dalam rangka berjuang dan berjihad di jalan Allah dan menegakan hukum Allah di Indonesia," imbuh DSM.
Senada, SNA, asal Ciamis, mengaku berencana membantu para napi Mako Brimob dengan memberikan makanan agar mendapatkan tenaga untuk melakukan perlawanan. Ia bahkan mempersiapkan sebuah gunting untuk menikam petugas.
"Apabila pada saat memberikan bantuan dihalangi oleh para anggota kepolisian yang berada di Mako brimob Kelapa Dua Depok, maka saya dan DSM sudah berjaga-jaga dengan membawa gunting untuk melakukan penyerangan kepada para thogut," cetusnya, dalam BAP terpisah.
SNA mengaku mengetahui ajaran dan berbaiat kepada ISIS sejak bergabung dengan organisasi NII KW9. Lantaran tahu organisasi itu masih setia kepada Pemerintah, ia memutuskan keluar dan mencari referensi melalui internet. Di antaranya, channel Millah Ibrahim dan Daulah.
Sementara, DSM mengenal Daulah Islamiyah dari Facebook John Tukijo dan mengenal ajaran Aman Abdurrahman, Nurdin M Top, dan Abu Bakar Baasyir dari channel Millah Ibrahim itu.
Dari internet keduanya mengetahui kalimat bait kepada Abu Bakar Al Baghdadi dan menyatakan kalimat baiat atau kesetiaannya. Dari grup percakapan Whatsapp 'Turn Back Crime' keduanya berkenalan.
 
Berita di atas pasti mengejutkan kita semua. Betapa sebuah berita tindakan radikal para pendukung ISIS yang ditambahi dengan narasi propaganda yang menyebar cepat di beberapa platform media sosial kelompok mereka, bisa membuat seseorang di kelompok itu terinspirasi untuk ikut melakukan tindakan radikal semacam itu.
Informasi dari BAP kedua gadis itu saya rasa sudah cukup untuk memberi gambaran tentang bagaimana teknologi komunikasi dan internet sangat berperan dalam proses terjadinya sebuah rangkaian teror, setidaknya dalam rangkaian peristiwa teror dalam sepekan ini.
Setidaknya ada beberapa hal yang menarik yang bisa kita ketahui dari sebagian isi BAP sebagaimana terdapat dalam berita di atas.
Pertama, informasi mengenai adanya kerusuhan antara para tahanan pendukung ISIS dengan aparat yang tersebar di berbagai pltaform media sosial para Anshar Daulah (sebutan pendukung ISIS yang di luar penjara) telah menggugah rasa solidaritas ingin membantu atau turut berpartisipasi dalam kerusuhan itu. Buktinya ada yang kemudian mengecek ke Mako Brimob dan memberikan instruksi agar semua Anshor Daulah bergabung dan merapat ke Depok, membantu ikhwan-ikhwan di dalam semampunya, mulai dari bantuan harta, makanan, komunikasi, dan elektronik dan untuk membuat chaos atau rusuh di sekitar Mako Brimob Kelapa Dua.
Kedua, kedua orang gadis itu mengenal ISIS dan pemahaman radikal melalui internet sampai kemudian mereka mengetahui kalimat baiat dan berbaiat kepada Abu Bakar Al Baghdadi. Semua itu mereka peroleh dalam waktu yang singkat.
Ketiga, ternyata mereka ini yaitu para Anshar Daulah pikirannya benar-benar sempit. Terlihat dari tujuan mereka yang ingin membantu perjuangan rekan-rekan mereka yang sedang terlibat kerusuhan dengan aparat dan menciptakan chaos di Mako Brimob. Memangnya kalau sudah chaos mau ngapain lagi ? Apakah kaum muslimin lalu ikut-ikutan membuat chaos atau justru mereka akan ditumpas habis oleh aparat ? Belum lagi ketidaktahuan mereka akan situasi dan keadaan Mako Brimob tapi memerintahkan agar pada berdatangan ke Mako Brimob. Dan kedua gadis itu adalah korban instruksi “orang-orang bodoh” yang taunya hanya ngomong “ ayo dukung ikhwan-ikhwan kita, jangan sia-siakan pengorbanan ikhwan-ikhwan, ayo bantu serang thoghut yang sedang kerepotan menghadapi ikhwan-ikhan kita, dst..dst...” tanpa mengetahui persis kondisi yang ada, apalagi strategi cara membantunya.
Saya paham betul pola pikir dan kebiasaan mereka. Saya pernah lama berinteraksi dengan mereka dan mengamati tingkah laku mereka di media sosial. Jadi, berita di atas bagi saya tidak terlalu mengejutkan.
Yang paling mengejutkan saya adalah modus tindakan teror mereka dalam sepekan ini yang semakin nekat dan ngawur. Menyandera, membunuh, dan menyerang dengan bom bunuh diri bersama seluruh anggota keluarganya benar-benar sebuah modus baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemicu atau awal dari rangkaian peristiwa teror yang merupakan tindakan dari kelompok radikal dalam sepekan itu adalah peristiwa rusuh di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok yang berlanjut dengan penyanderaan dan pembunuhan beberapa angota POLRI yang berlangsung selama dua hari.
Meskipun akhirnya drama teror itu berakhir dengan menyerahnya mereka semua, tetapi kita semua sekarang harus merasakan dampak tersebarnya aksi drama teror di RMB melalui media sosial di kalangan pendukung ISIS yang kemudian menginspirasi mereka untuk melakukan aksi serupa atau menjadikan peristiwa itu sebagai “burning point” bagi aksi-aksi yang ingin mereka lakukan dan sudah mereka persiapkan.

Senin, 16 April 2018

Jihad Adalah Sebuah Jalan, Bukan Tujuan


Fakta bahwa Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting adalah hal yang tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya “hitam-putih” dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.
Para jihadis dan “jihadis wannabe” menjadi sangat terobsesi untuk menghidupkan jihad di Indonesia karena terlalu banyak melihat apa yang terjadi di luar negeri tetapi melupakan apa yang sedang dihadapi di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya memahami kondisi kaum muslimin di sekitarnya dan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh ummat, dan di sisi lain mereka sangat antusias mengikuti perkembangan berita jihad dari seluruh penjuru dunia dan membaca materi-materi yang berkaitan dengan jihad melalui internet. Sehingga lahirlah generasi yang memandang jihad sebagai tujuan, bukan sebagai jalan perjuangan. Pemantik yang digunakan oleh pelaku hanya kosa kata jihad, fardhu ‘ain, Al-Qaeda dan mati syahid.
Para jihadis yang seperti ini bermadzhab bahwa jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrim lagi, hanya menjadikan mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat, pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid), ia sedang merancang kekalahan.
Lho kok bisa begitu ? Bukankah slogan mereka adalah “jihad jalan kami” ?
[ Pada penjelasan ini, saya banyak mengutip dari situs blog  elhakimi.wordpress.com. Tulisan-tulisan di dalam blog itu memang sangat menginspirasi saya selama ini ]
Orang yang menjadikan jihad sebagai jalan perjuangan akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad. Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Sementara yang menjadikan jihad sebagai tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu ‘ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad dan mengabaikan kondisi kaum muslimin. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya.
Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong menuju medan jihad? Untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada “pemantik” untuk menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di sini?
Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.
Salah satu yang sangat kurang dipahami dan dihayati para aktifis muslim adalah bahwa dakwah harus menjadi warna dominan dalam gerakan kemerdekaan Islam yang mereka usung. Jika bicara soal gerakan kemerdekaan Islam, yang menonjol terlihat baik oleh kawan atau lawan biasanya nuansa perlawanan fisik atau jihad bersenjata. Mereka umumnya terlalu tercelup dengan paradigma bahwa cara yang paling mujarab untuk memerdekakan Islam adalah jalan senjata alias jihad. Jalan paling pintas untuk memerdekakan Islam adalah jihad. Dakwah? Terlalu lama. Begitulah umumnya persepsi yang ada di benak aktifis yang kadung terobsesi jihad.
Padahal jika kita membaca sirah nabawiyah (sejarah perjuangan Nabi saw), kesan yang lebih kuat muncul dari sosok Rasulullah dan sepak terjangnya dalam menegakkan Islam adalah pendekatan dakwah. Jihad yang dilakukan Nabi Muhammad saw terkesan hanya sebagai jalan darurat dan terakhir jika pendekatan dakwah buntu. Atau sebagai alat untuk menyingkirkan hambatan dakwah yang membandel.
Obsesi Nabi Muhammad saw dalam memberi hidayah dan mengajak masyarakat untuk masuk Islam menjadi karakter yang melekat, termasuk saat melakukan jihad fi sabilillah. Titik awal perjuangan Nabi saw adalah dakwah. Obsesi Nabi saw adalah bagaimana menemukan cara yang paling sedikit menimbulkan korban tapi paling efektif dalam menyebarkan hidayah kepada umat manusia.
Jihad termasuk dalam paradigma ini. Meminimalisir korban, baik dari pihak muslimin maupun dari pihak musuh menjadi pertimbangan kuat. Contoh kasusnya ada dalam riwayat berikut ini:
“Khalid bin Walid menarik pasukannya dari medan jihad pada pertempuran Mu’tah, karena khawatir akan dibinasakan musuh. Jumlah pasukan musuh 200.000 orang, sementara jumlah pasukan mujahidin hanya 3.000 orang. Tatkala pulang ke Madinah, penduduk Madinah menyambutnya dengan taburan pasir di wajah pasukan, seraya mencibir: Wahai pasukan yang lari dari pertempuran, kalian lari dari jalan Allah ! Nabi saw mendengarkan cibiran mereka, bersabda: Mereka bukan pasukan yang lari kabur karena pengecut tapi menarik diri karena strategi insyaallah. (ar-raudh al-anif 7/19)”.
Khalid bin Walid r.a memahami dan menghayati benar paradigma “obsesi untuk memberi hidayah sebanyak mungkin manusia” dari Rasulullah saw. Dalam kalkulasinya, ditariknya 3.000 prajurit muslim karena khawatir binasa oleh musuh yang lebih besar, masuk dalam bingkai paradigma ini.
Jihad melawan pasukan kafir tujuan besarnya adalah menyebarkan hidayah kepada manusia. Maknanya, dengan asumsi tewasnya 3.000 orang yang telah mendapat hidayah karena memaksakan diri melawan musuh yang jumlahnya terlalu besar, adalah bagian dari menjaga 3.000 orang ini untuk bisa memainkan fungsi sebagai aagen hidayah. Kematian mereka bermakna matinya 3.000 dai yang akan menerangi manusia dengan kebenaran Islam yang mereka pahami. Sementara musuh malah makin bangga karena berhasil membabat habis pasukan Islam, dan akan makin besar arogansinya untuk menerima hidayah.
Jika jihad melawan musuh yang jumlahnya tidak rasional, hasil dakwah yang berjumlah 3.000 orang akan habis, sedangkan musuh tak berhasil dikalahkan dan tetap tak tersentuh hidayah. Jihad bukan untuk memuaskan adrenalin perang dan sekedar pamer kepahlawanan yang tak gentar menghadapi musuh yang jumlahnya tak rasional sekalipun. Tapi jihad adalah subordinat dakwah, ia tunduk pada paradigma besar dakwah: menyebarkan hidayah kepada sebanyak mungkin penduduk bumi. Jika jihad merugikan dakwah, maka jihad harus dihentikan atau ditinjau ulang.
Dalam kasus ini, memaksakan diri melanjutkan jihad dikhawatirkan akan menghilangkan 3.000 orang hasil dakwah, sementara hasil jihad bagi musuh justru melahirkan kebanggaan karena berhasil membantai 3.000 prajurit muslim. Dengan kata lain, hasil jihad berupa “mengalahkan musuh” atau minimal “menimpakan kerugian maksimal kepada musuh”  tidak tercapai, tapi hasil dakwah berupa Islamnya 3.000 orang (pasukan Islam) justru akan binasa. Maka keputusan Khalid didukung oleh Rasulullah saw, dan ini tidak dipandang sebagai sisi kelemahan bagi seorang komandan perang kawakan semacam Khalid bin Walid r.a.
Contoh lain adalah dalam Perang Khaibar, di mana diriwayatkan dalam riwayat Bukhari:
“Dari Sahal bin Saad ra, Rasulullah saw bersabda pada perang Khaibar: Besok aku akan serahkan panji perang kepada seorang laki-laki yang Allah akan memberi kemenangan melalui tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Pada malam harinya, seluruh pasukan kasak-kusuk menebak siapa yang akan beruntung dan masing-masing berharap dirinya yang akan terpilih. Esoknya, Rasulullah saw bertanya: Mana Ali? Ada yang menjawab: Dia sedang sakit mata ya Rasulullah. Lalu Rasulullah saw meludahi kedua matanya dan mendoakannya, setelah itu matanya langsung sembuh seperti tak ada bekas sakit. Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji perang kepadanya.
Ali bin Abi Thalib ra bertanya: Apakah aku diperintahkan untuk memerangi mereka agar menjadi seperti kita semua? Rasulullah saw menjawab: Berangkatlah dengan senyap, hingga engkau mencapai tanah pekarangan mereka. Sampaikan dakwah (ajakan) kepada mereka untuk masuk Islam, dan ajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah, engkau dapat memberi petunjuk satu orang dengan ijin Allah lebih baik dibanding engkau mendapat hadiah onta terbaik”.  (Shahih Bukhari no hadits 2847)
Khaibar adalah wilayah yang dikuasai Yahudi, dengan benteng yang terkenal kokoh. Yahudi dikenal keras kepala dan memiliki sifat dengki yang dalam. Meski demikian, briefing sebelum memberangkatkan pasukan untuk menyerang Khaibar tetap dibingkai misi dakwah. Maknanya, obyek jihad dari ideologi apapun tetap harus menjadikan misi dakwah lebih ditonjolkan.
Misi dakwah dalam perang Khaibar: Masuk Islamnya satu orang Yahudi, lebih berharga dari harta termahal saat itu, onta merah. Rasulullah saw hendak memberi barometer, bahwa keberhasilan seorang mujahid dalam mengislamkan musuhnya lebih membanggakan dibanding keberhasilan membunuhnya atau merebut ghanimah darinya.
Barometer ini meresap menjadi sikap mental para Sahabat saat melaksanakan misi jihad. Dan semestinya menjiwai para aktifis yang terobsesi dengan jihad saat ini. Jihad yang dijiwai dakwah akan  membuat jihad makin barokah.
Para aktifis perindu jihad di tanah air yang kemudian  ‘ngiler’ melihat pertumbuhan jihad di belahan dunia lain yang sangat jauh itu lalu berharap : Kapan ya negeri ini kebagian anugerah jihad ? Kapan ya ada konflik yang bisa membuka ladang jihad ?
Masalahnya, apakah terbukanya ladang jihad di suatu negeri bermakna musibah ataukah anugerah ? Jika terbukanya ladang jihad harus diawali dengan pecahnya konflik (dalam bahasa hadits: fitnah) yang menimpa umat Islam, maka terbukanya ladang jihad adalah musibah. Bagaimana tidak, konflik niscaya memakan korban. Dan tercecernya darah kaum muslimin, terrenggutnya kehormatan muslimah dan terbunuhnya anak-anak generasi umat Islam, jelas sebuah kerugian dan kesedihan tak terkira.
Dari sudut pandang ini, terbukanya ladang jihad alias pecahnya konflik bersenjata melawan musuh yang jahat, jelas tak elok untuk dirindukan oleh para aktifis Islam yang mencintai umatnya. Tak patut bagi seorang muslim untuk merindukan tertumpahnya darah saudara sendiri oleh kejahatan musuh Islam, sekali lagi jika terbukanya ladang jihad tak terpisahkan dengan episode pendahuluan berupa fitnah berdarah-darah menimpa umat Islam.
Atas dasar logika ini, rasanya tak patut bagi aktifis muslim untuk berharap pecah konflik (fitnah) hanya karena menginginkan barokah di baliknya; lahirnya ladang jihad baru. Tugas kita hanya melakukan ibadah sesuai kebutuhan waqi’ yang Allah sediakan. Jika ladang yang ada cocoknya digarap dengan ibadah dakwah, jangan meminta kepada Allah untuk merobahnya menjadi ladang jihad ketika kita merasa belum menunaikan ibadah sesuai tuntutan sikon yang ada secara maksimal. Sebab di balik permintaan itu terkandung harapan pecahnya konflik yang akan menjadi musibah bagi umat Islam. Lakukan saja ibadah secara maksimal sesuai kebutuhan situasi dan kondisi.
Biarlah jihad turun dari langit sebagai sebuah anugerah, jangan diminta-minta, sebab jihad adalah amanat, sebagaimana jabatan. Orang yang tak sabar dan meminta percepatan, biasanya malah tak mampu menanggung beban permintaanya sendiri. Allah Maha Tahu, kapan para hambaNya dinilai sudah memiliki kesiapan untuk menerima anugerah bernama ladang jihad. Terbukanya ladang jihad di Afghanistan, Chechnya, Iraq, Suriah, dll adalah anugerah langit yang tak direncanakan manusia, seiring dengan kesiapan mujahidin di negeri-negeri tersebut untuk menyambutnya. Anugerah selalu disesuaikan dengan kesiapan hamba dan kelayakan kualifikasinya. Jika direkayasa, dikhawatirkan akan prematur. Biarlah Allah menilai kesiapan kita. Oleh karenanya, kesibukan kita adalah memastikan kesiapan diri dalam segala hal, bukan memancing fitnah yang akan membuat darah umat tercecer akibat ulah kita.  
Wallahu a’lam bisshowab.

Sabtu, 24 Februari 2018

Kesalahan Umum Sepele yang (bisa) Menjadi Awal Masuknya Pemikiran Radikal



Sebagai aktivis pergerakan Islam sejak masuk SMU tahun 1998, saya cukup terbiasa dengan berbagai model pembinaan dari beberapa kelompok pergerakan (harakah) yang saya ikuti. Meskipun sejak tahun 2001 saya mulai condong kepada para simpatisan Al Qaidah, saya masih tetap mengikuti beberapa kegiatan bersama kelompok pergerakan yang lain. Meskipun pernah ditegur oleh salah satu ustadz simpatisan Al Qaidah karena dia mengetahui saya juga mengikuti kegiatan teman-teman di kelompok lain, saya tetap saja melanjutkan kegiatan saya bersama aktivis dari kelompok lain. Karena pada dasarnya saya suka bergaul, maka tidak heran saya punya hubungan yang baik dengan teman-teman dari Jamaah Tabligh, HTI, PKS, Hidayatullah, Pemuda Muhammadiyah, sampai IPNU. Dan sekarang setelah saya bebas dari penjara, saya mulai menyambung kembali hubungan dengan teman-teman lama dulu yang masih bisa dihubungi.
Ketika saya merantau ke suatu daerah, saya selalu menjalin hubungan baik dengan kelompok (harakah) yang ada di daerah tersebut. Hal itu saya lakukan untuk mengetahui peta dakwah dan kualitas keislaman masyarakat di daerah tersebut. Dari situ saya kemudian dapat menentukan langkah-langkah dalam mengkover diri saya yang pro jihadis. Jadi, kalau soal berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya masih selalu melakukannya sampai saat-saat terakhir sebelum saya tertangkap.
Dari pengalaman saya berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya mendapati ada beberapa kekurangan yang menurut saya perlu segera diperbaiki, karena beberapa kekurangan atau kelemahan yang saya temukan itu bisa dieksploitasi oleh kelompok radikal untuk mempengaruhi dan mengarahkan pemikiran seseorang kepada pemahaman yang lebih ekstrim. Saya tidak akan menyebut kekurangan atau kelemahan itu terjadi di kelompok mana saja, tapi saya hanya akan fokus membahas kekurangan atau kelemahan itu. Dengan begitu, semua pihak akan memperbaiki dirinya masing-masing setelah mengetahui adanya kekurangan atau kelemahan itu. Setidaknya ada dua kelemahan besar yang dianggap sepele dan yang selalu menjadi celah yang dieksploitasi oleh orang-orang radikal tak bertanggungjawab.
Kelemahan pertama : Meremehkan materi Sirah Nabawiyah ( Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW ) yang urut dan lengkap dalam kajian-kajian mereka.
Materi Sirah Nabawiyah ini sangat penting untuk disampaikan secara lengkap, urut, dan sistematis. Karena dengan memahami bagaimana sejarah Rasulullah SAW dalam berdakwah dan membina masyarakat Islam. Kita akan mengetahui tahapan-tahapan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang menjadi awal peradaban terbaik dari sejarah kaum muslimin. Kita akan mengetahui bagaimana sikap Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika dalam kondisi lemah, dalam kondisi membangun masyarakat, dalam kondisi sudah punya kekuatan, dan kondisi ketika meraih kemenangan atas musuh-musuh Islam. Semua telah ada contohnya.
Dengan mengetahui Sirah Nabawiyah, seseorang akan mengetahui bahwa perjalanan perjuangan dakwah Rasul SAW itu melalui beberapa tahapan dan butuh waktu yang panjang. Ia akan lebih bijak dalam melihat kondisi di sekelilingnya, dan tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak sabar meniti jalan perjuangan yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Orang-orang yang berpikiran sempit dan berpemahaman radikal suka mengutip penggalan kisah perjuangan Rasulullah SAW  pada salah satu tahap atau fase untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan atau yang akan mereka lakukan. Padahal jika diteliti lebih jauh, apa yang mereka kutip itu harus memenuhi beberapa syarat dan kondisi yang harus terpenuhi sebelum kita boleh melakukan hal yang sama. Di sinilah pentingnya orang memiliki pengetahuan yang cukup akan Sirah Nabawiyah. Sehingga tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi, serta akan lebih sabar dalam meniti jalan perjuangan sesuai dengan jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW.
Kelemahan kedua : Kalimat “ ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan” yang sering dijadikan motto perjuangan atau jargon yang sering diungkapkan.
Kalimat ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan yang berarti “ Hidup Mulia atau Mati Syahid” seringkali kita lihat dan kita dengar sebagai kalimat yang sering diucapkan oleh para aktivis, sering dikutip dan dituliskan di sudut-sudut buku atau ruangan  sebagai kalimat penggugah jiwa atau sebagai motto hidup. Padahal penerapan dari makna kalimat ini sebenarnya hanya berlaku pada kondisi dalam peperangan, yaitu sebagai kalimat pembakar semangat bagi pasukan Islam yang sedang menghadapi musuh yang kuat.
Dalam Al Qur’an ada sebuah ayat yang mendukung bahwa “ Hidup Mulia atau Mati Syahid” adalah dua kebaikan yang akan diperoleh orang yang sedang berperang di jalan Allah SWT. Konteksnya adalah orang yang sedang berperang, bukan orang-orang yang aktivitasnya tidak “berbau perang” sama sekali. Di dalam surah At Taubah ayat 52 Allah SWT berfirman :

” Katakanlah: "tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi Kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan[1]. dan Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, Sesungguhnya Kami menunggu-nunggu bersamamu."

Kalimat ini pula yang dijadikan jargon oleh kelompok radikal untuk merekrut aktivis muda yang masih labil. Mereka menjadikan kalimat itu sebagai salah satu doktrin sebagaimana yang pernah saya ketahui, seperti pada ungkapan mereka, “ Hidup mulia adalah ketika engkau mampu melaksanakan tauhid dan syariat Islam dalam kehidupanmu secara menyeluruh, dan jika tidak mampu maka tempuhlah jalan menuju mati syahid dalam memperjuangkan tegaknya syari’at. Itulah pilihannya”.
Jika kata-kata itu disampaikan kepada seorang pemuda yang baru belajar Islam dan ia berada pada kondisi yang serba sulit seperti sedang menghadapi persoalan ekonomi atau masalah keluarga atau punya penyakit yang berat dan sebagainya, orang itu akan cenderung mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan radikal atas nama jihad membela Islam yang jika mati maka in sya Allah akan memperoleh mati syahid.
Memang dalam sejarah Islam ada statemen atau ungkapan  yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu Isy Kariman wa Mut Kariiman (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai orang yang mulia). Ini adalah ucapan Asma’ binti Abu Bakar RA kepada anaknya, Abdullah bin Zubair yang kondisinya saat itu sedang diburu oleh Yazid bin Mu'awiyah yang mengancam akan memutilasi tubuhnya jika sampai tertangkap. Lalu Asma' binti Abu Bakar RA berkata kepadanya : " Hiduplah mulia atau mati mulia (Isy kariiman wa mut kariiman). Orang yang sudah mati tidak akan merasakan sakit lagi walaupun musuh memotong-motong tubuhnya. Majulah terus anakku, jangan menyerah sampai mati - atau sebagaimana perkataan Asma' binti Abu Bakar RA-.
Secara ilmiah, statemen ini dapat didiskusikan dan dianalisis latar belakang historis dan sosiologisnya. Pesan seorang ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan yang lainnya.
Pesan Asma’ ini sangat berbeda dengan jargon Isy Kariman au Mut Syahidan, baik redaksional maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ RA mengarah kepada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia tanpa adanya opsi. Sementara jargon Isy Kariman au Mut Syahidan tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi, yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang menurut tata bahasa Arab untuk “takhyîr” (pilihan).
Lalu setelah direnungkan, sebenarnya ungkapan ini ('Isy kariiman wa mut kariiman) lebih universal maknanya dibandingkan 'Isy kariiman au mut syahidan. 'Isy kariiman wa mut kariiman memiliki makna agar kita berusaha untuk hidup mulia sesuai dengan syariat Islam dan mati pun dalam keadaan menetapi syariat Islam atau memperjuangkan syariat Islam, meskipun matinya tidak di medan perang. Sedangkan 'Isy kariiman atau mut syahiidan menurut saya hanya tepat digunakan untuk memotivasi orang yang sedang dalam pertempuran agar tidak ragu lagi dalam bertempur karena akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan, yaitu kemenangan yang berarti kemuliaan atau jika mati maka mati sebagi syahid. Jadi, karena konteks perjuangan kita tidak selalu atau hanya di medan perang, maka saya rasa slogan 'Isy kariiman wa mut kariiman lebih tepat, selain juga lebih ilmiah.
Jadi, mari kita belajar Sirah Nabawiyah yang lengkap dan komprehensif, serta mengkampanyekan sebuah slogan atau jargon baru yaitu ; “ ‘Isy kariiman wa mut kariiman”, sebagai salah satu upaya menutup salah satu celah yang bisa dieksploitasi oleh kelom radikal untuk merekrut generasi muda kita.
Saya berharap kepada Allah SWT, semoga tulisan sederhana saya ini bisa menginspirasi atau menjadi pemicu bagi orang-orang yang lebih berilmu untuk merumuskan cara-cara penanggulangan dan pencegahan radikalisme yang lebih komprehensif sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, lalu bersama-sama kaum muslimin dan segenap komponen bangsa bekerjasama bahu membahu mencegah dan memotong mata rantai radikalisme di Indonesia.

[1] Yaitu mendapat kemenangan atau mati syahid.