Fakta bahwa Al-Qaeda menjadi inspirasi
terpenting adalah hal yang tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad,
tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin
meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang
terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat
dengan gaya “hitam-putih” dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu
panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar
adrenalinnya.
Para jihadis dan “jihadis wannabe” menjadi
sangat terobsesi untuk menghidupkan jihad di Indonesia karena terlalu banyak
melihat apa yang terjadi di luar negeri tetapi melupakan apa yang sedang
dihadapi di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya memahami kondisi kaum
muslimin di sekitarnya dan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh ummat, dan di
sisi lain mereka sangat antusias mengikuti perkembangan berita jihad dari
seluruh penjuru dunia dan membaca materi-materi yang berkaitan dengan jihad
melalui internet. Sehingga lahirlah generasi yang memandang jihad sebagai
tujuan, bukan sebagai jalan perjuangan. Pemantik yang digunakan oleh pelaku
hanya kosa kata jihad, fardhu ‘ain, Al-Qaeda dan mati syahid.
Para jihadis yang seperti ini bermadzhab bahwa
jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrim lagi, hanya menjadikan
mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa
menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat,
pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam
keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid),
ia sedang merancang kekalahan.
Lho kok bisa begitu ? Bukankah slogan mereka
adalah “jihad jalan kami” ?
[ Pada penjelasan ini, saya banyak
mengutip dari situs blog elhakimi.wordpress.com. Tulisan-tulisan di
dalam blog itu memang sangat menginspirasi saya selama ini ]
Orang yang menjadikan jihad sebagai jalan
perjuangan akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap
ibadah dibingkai oleh maqashid syariah
yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan
vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan
kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial
dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan
menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai
tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya,
tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk
melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah
Allah bernama jihad. Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi
munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar,
nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Sementara yang menjadikan jihad sebagai tujuan,
tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu
‘ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan
jihad dan mengabaikan kondisi kaum muslimin. Mereka ingin semua orang Islam
datang berduyun-duyun menyambut seruannya.
Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna
menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong
menuju medan jihad? Untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah
penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada “pemantik” untuk
menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di
sini?
Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang
mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan
jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan
sebagainya.
Salah satu yang sangat kurang dipahami dan
dihayati para aktifis muslim adalah bahwa dakwah harus menjadi warna dominan
dalam gerakan kemerdekaan Islam yang mereka usung. Jika bicara soal gerakan
kemerdekaan Islam, yang menonjol terlihat baik oleh kawan atau lawan biasanya
nuansa perlawanan fisik atau jihad bersenjata. Mereka umumnya terlalu tercelup
dengan paradigma bahwa cara yang paling mujarab untuk memerdekakan Islam adalah
jalan senjata alias jihad. Jalan paling pintas untuk memerdekakan Islam adalah
jihad. Dakwah? Terlalu lama. Begitulah umumnya persepsi yang ada di benak aktifis
yang kadung terobsesi jihad.
Padahal jika kita membaca sirah nabawiyah
(sejarah perjuangan Nabi saw), kesan yang lebih kuat muncul dari sosok
Rasulullah dan sepak terjangnya dalam menegakkan Islam adalah pendekatan
dakwah. Jihad yang dilakukan Nabi Muhammad saw terkesan hanya sebagai jalan
darurat dan terakhir jika pendekatan dakwah buntu. Atau sebagai alat untuk
menyingkirkan hambatan dakwah yang membandel.
Obsesi Nabi Muhammad saw dalam memberi hidayah
dan mengajak masyarakat untuk masuk Islam menjadi karakter yang melekat,
termasuk saat melakukan jihad fi sabilillah. Titik awal perjuangan Nabi saw
adalah dakwah. Obsesi Nabi saw adalah bagaimana menemukan cara yang paling
sedikit menimbulkan korban tapi paling efektif dalam menyebarkan hidayah kepada
umat manusia.
Jihad termasuk dalam paradigma ini.
Meminimalisir korban, baik dari pihak muslimin maupun dari pihak musuh menjadi
pertimbangan kuat. Contoh kasusnya ada dalam riwayat berikut ini:
“Khalid bin Walid menarik
pasukannya dari medan jihad pada pertempuran Mu’tah, karena khawatir akan
dibinasakan musuh. Jumlah pasukan musuh 200.000 orang, sementara jumlah pasukan
mujahidin hanya 3.000 orang. Tatkala pulang ke Madinah, penduduk Madinah
menyambutnya dengan taburan pasir di wajah pasukan, seraya mencibir: Wahai
pasukan yang lari dari pertempuran, kalian lari dari jalan Allah ! Nabi saw
mendengarkan cibiran mereka, bersabda: Mereka bukan pasukan yang lari kabur
karena pengecut tapi menarik diri karena strategi insyaallah. (ar-raudh al-anif
7/19)”.
Khalid bin Walid r.a memahami dan menghayati
benar paradigma “obsesi untuk memberi hidayah sebanyak mungkin manusia” dari
Rasulullah saw. Dalam kalkulasinya, ditariknya 3.000 prajurit muslim karena
khawatir binasa oleh musuh yang lebih besar, masuk dalam bingkai paradigma ini.
Jihad melawan pasukan kafir tujuan besarnya
adalah menyebarkan hidayah kepada manusia. Maknanya, dengan asumsi tewasnya
3.000 orang yang telah mendapat hidayah karena memaksakan diri melawan musuh
yang jumlahnya terlalu besar, adalah bagian dari menjaga 3.000 orang ini untuk
bisa memainkan fungsi sebagai aagen hidayah. Kematian mereka bermakna matinya
3.000 dai yang akan menerangi manusia dengan kebenaran Islam yang mereka
pahami. Sementara musuh malah makin bangga karena berhasil membabat habis
pasukan Islam, dan akan makin besar arogansinya untuk menerima hidayah.
Jika jihad melawan musuh yang jumlahnya tidak
rasional, hasil dakwah yang berjumlah 3.000 orang akan habis, sedangkan musuh
tak berhasil dikalahkan dan tetap tak tersentuh hidayah. Jihad bukan untuk
memuaskan adrenalin perang dan sekedar pamer kepahlawanan yang tak gentar
menghadapi musuh yang jumlahnya tak rasional sekalipun. Tapi jihad adalah
subordinat dakwah, ia tunduk pada paradigma besar dakwah: menyebarkan hidayah
kepada sebanyak mungkin penduduk bumi. Jika jihad merugikan dakwah, maka jihad
harus dihentikan atau ditinjau ulang.
Dalam kasus ini, memaksakan diri melanjutkan
jihad dikhawatirkan akan menghilangkan 3.000 orang hasil dakwah, sementara
hasil jihad bagi musuh justru melahirkan kebanggaan karena berhasil membantai
3.000 prajurit muslim. Dengan kata lain, hasil jihad berupa “mengalahkan musuh”
atau minimal “menimpakan kerugian maksimal kepada musuh” tidak tercapai, tapi hasil dakwah berupa
Islamnya 3.000 orang (pasukan Islam) justru akan binasa. Maka keputusan Khalid
didukung oleh Rasulullah saw, dan ini tidak dipandang sebagai sisi kelemahan
bagi seorang komandan perang kawakan semacam Khalid bin Walid r.a.
Contoh lain adalah dalam Perang Khaibar, di mana
diriwayatkan dalam riwayat Bukhari:
“Dari Sahal bin Saad ra,
Rasulullah saw bersabda pada perang Khaibar: Besok aku akan serahkan panji
perang kepada seorang laki-laki yang Allah akan memberi kemenangan melalui
tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya juga
mencintainya. Pada malam harinya, seluruh pasukan kasak-kusuk menebak siapa
yang akan beruntung dan masing-masing berharap dirinya yang akan terpilih.
Esoknya, Rasulullah saw bertanya: Mana Ali? Ada yang menjawab: Dia sedang sakit
mata ya Rasulullah. Lalu Rasulullah saw meludahi kedua matanya dan
mendoakannya, setelah itu matanya langsung sembuh seperti tak ada bekas sakit.
Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji perang kepadanya.
Ali bin Abi Thalib ra bertanya:
Apakah aku diperintahkan untuk memerangi mereka agar menjadi seperti kita
semua? Rasulullah saw menjawab: Berangkatlah dengan senyap, hingga engkau
mencapai tanah pekarangan mereka. Sampaikan dakwah (ajakan) kepada mereka untuk
masuk Islam, dan ajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban mereka. Demi Allah,
engkau dapat memberi petunjuk satu orang dengan ijin Allah lebih baik dibanding
engkau mendapat hadiah onta terbaik”.
(Shahih Bukhari no hadits 2847)
Khaibar adalah wilayah yang dikuasai Yahudi,
dengan benteng yang terkenal kokoh. Yahudi dikenal keras kepala dan memiliki
sifat dengki yang dalam. Meski demikian, briefing sebelum memberangkatkan
pasukan untuk menyerang Khaibar tetap dibingkai misi dakwah. Maknanya, obyek
jihad dari ideologi apapun tetap harus menjadikan misi dakwah lebih
ditonjolkan.
Misi dakwah dalam perang Khaibar: Masuk
Islamnya satu orang Yahudi, lebih berharga dari harta termahal saat itu, onta
merah. Rasulullah saw hendak memberi barometer, bahwa keberhasilan seorang
mujahid dalam mengislamkan musuhnya lebih membanggakan dibanding keberhasilan
membunuhnya atau merebut ghanimah darinya.
Barometer ini meresap menjadi sikap mental para
Sahabat saat melaksanakan misi jihad. Dan semestinya menjiwai para aktifis yang
terobsesi dengan jihad saat ini. Jihad yang dijiwai dakwah akan membuat jihad makin barokah.
Para aktifis perindu jihad di tanah air yang
kemudian ‘ngiler’ melihat pertumbuhan
jihad di belahan dunia lain yang sangat jauh itu lalu berharap : Kapan ya
negeri ini kebagian anugerah jihad ? Kapan ya ada konflik yang bisa membuka
ladang jihad ?
Masalahnya, apakah terbukanya ladang jihad di
suatu negeri bermakna musibah ataukah anugerah ? Jika terbukanya ladang jihad
harus diawali dengan pecahnya konflik (dalam bahasa hadits: fitnah) yang
menimpa umat Islam, maka terbukanya ladang jihad adalah musibah. Bagaimana
tidak, konflik niscaya memakan korban. Dan tercecernya darah kaum muslimin,
terrenggutnya kehormatan muslimah dan terbunuhnya anak-anak generasi umat
Islam, jelas sebuah kerugian dan kesedihan tak terkira.
Dari sudut pandang ini, terbukanya ladang jihad
alias pecahnya konflik bersenjata melawan musuh yang jahat, jelas tak elok
untuk dirindukan oleh para aktifis Islam yang mencintai umatnya. Tak patut bagi
seorang muslim untuk merindukan tertumpahnya darah saudara sendiri oleh
kejahatan musuh Islam, sekali lagi jika terbukanya ladang jihad tak terpisahkan
dengan episode pendahuluan berupa fitnah berdarah-darah menimpa umat Islam.
Atas dasar logika ini, rasanya tak patut bagi
aktifis muslim untuk berharap pecah konflik (fitnah) hanya karena menginginkan
barokah di baliknya; lahirnya ladang jihad baru. Tugas kita hanya melakukan
ibadah sesuai kebutuhan waqi’ yang Allah sediakan. Jika ladang yang ada
cocoknya digarap dengan ibadah dakwah, jangan meminta kepada Allah untuk
merobahnya menjadi ladang jihad ketika kita merasa belum menunaikan ibadah
sesuai tuntutan sikon yang ada secara maksimal. Sebab di balik permintaan itu
terkandung harapan pecahnya konflik yang akan menjadi musibah bagi umat Islam. Lakukan
saja ibadah secara maksimal sesuai kebutuhan situasi dan kondisi.
Biarlah jihad turun dari langit sebagai sebuah
anugerah, jangan diminta-minta, sebab jihad adalah amanat, sebagaimana jabatan.
Orang yang tak sabar dan meminta percepatan, biasanya malah tak mampu
menanggung beban permintaanya sendiri. Allah Maha Tahu, kapan para hambaNya
dinilai sudah memiliki kesiapan untuk menerima anugerah bernama ladang jihad.
Terbukanya ladang jihad di Afghanistan, Chechnya, Iraq, Suriah, dll adalah
anugerah langit yang tak direncanakan manusia, seiring dengan kesiapan
mujahidin di negeri-negeri tersebut untuk menyambutnya. Anugerah selalu
disesuaikan dengan kesiapan hamba dan kelayakan kualifikasinya. Jika
direkayasa, dikhawatirkan akan prematur. Biarlah Allah menilai kesiapan kita.
Oleh karenanya, kesibukan kita adalah memastikan kesiapan diri dalam segala
hal, bukan memancing fitnah yang akan membuat darah umat tercecer akibat ulah
kita.
Wallahu a’lam bisshowab.