Sebagai
aktivis pergerakan Islam sejak masuk SMU tahun 1998, saya cukup terbiasa dengan
berbagai model pembinaan dari beberapa kelompok pergerakan (harakah) yang saya ikuti. Meskipun sejak
tahun 2001 saya mulai condong kepada para simpatisan Al Qaidah, saya masih
tetap mengikuti beberapa kegiatan bersama kelompok pergerakan yang lain. Meskipun
pernah ditegur oleh salah satu ustadz simpatisan Al Qaidah karena dia
mengetahui saya juga mengikuti kegiatan teman-teman di kelompok lain, saya
tetap saja melanjutkan kegiatan saya bersama aktivis dari kelompok lain. Karena
pada dasarnya saya suka bergaul, maka tidak heran saya punya hubungan yang baik
dengan teman-teman dari Jamaah Tabligh, HTI, PKS, Hidayatullah, Pemuda
Muhammadiyah, sampai IPNU. Dan sekarang setelah saya bebas dari penjara, saya
mulai menyambung kembali hubungan dengan teman-teman lama dulu yang masih bisa
dihubungi.
Ketika saya
merantau ke suatu daerah, saya selalu menjalin hubungan baik dengan kelompok (harakah) yang ada di daerah tersebut.
Hal itu saya lakukan untuk mengetahui peta dakwah dan kualitas keislaman masyarakat
di daerah tersebut. Dari situ saya kemudian dapat menentukan langkah-langkah
dalam mengkover diri saya yang pro jihadis. Jadi, kalau soal berinteraksi
dengan aktivis dari berbagai harakah,
saya masih selalu melakukannya sampai saat-saat terakhir sebelum saya
tertangkap.
Dari
pengalaman saya berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya mendapati ada beberapa kekurangan yang menurut saya
perlu segera diperbaiki, karena beberapa kekurangan atau kelemahan yang saya
temukan itu bisa dieksploitasi oleh kelompok radikal untuk mempengaruhi dan
mengarahkan pemikiran seseorang kepada pemahaman yang lebih ekstrim. Saya tidak
akan menyebut kekurangan atau kelemahan itu terjadi di kelompok mana saja, tapi
saya hanya akan fokus membahas kekurangan atau kelemahan itu. Dengan begitu,
semua pihak akan memperbaiki dirinya masing-masing setelah mengetahui adanya
kekurangan atau kelemahan itu. Setidaknya ada dua kelemahan besar yang dianggap
sepele dan yang selalu menjadi celah yang dieksploitasi oleh orang-orang
radikal tak bertanggungjawab.
Kelemahan
pertama : Meremehkan materi Sirah Nabawiyah ( Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW
) yang urut dan lengkap dalam kajian-kajian mereka.
Materi Sirah
Nabawiyah ini sangat penting untuk disampaikan secara lengkap, urut, dan
sistematis. Karena dengan memahami bagaimana sejarah Rasulullah SAW dalam
berdakwah dan membina masyarakat Islam. Kita akan mengetahui tahapan-tahapan
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai terwujudnya sebuah tatanan
masyarakat yang menjadi awal peradaban terbaik dari sejarah kaum muslimin. Kita
akan mengetahui bagaimana sikap Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika dalam
kondisi lemah, dalam kondisi membangun masyarakat, dalam kondisi sudah punya
kekuatan, dan kondisi ketika meraih kemenangan atas musuh-musuh Islam. Semua
telah ada contohnya.
Dengan
mengetahui Sirah Nabawiyah, seseorang akan mengetahui bahwa perjalanan
perjuangan dakwah Rasul SAW itu melalui beberapa tahapan dan butuh waktu yang
panjang. Ia akan lebih bijak dalam melihat kondisi di sekelilingnya, dan tidak
mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak sabar meniti jalan perjuangan
yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Orang-orang
yang berpikiran sempit dan berpemahaman radikal suka mengutip penggalan kisah
perjuangan Rasulullah SAW pada salah
satu tahap atau fase untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan atau yang
akan mereka lakukan. Padahal jika diteliti lebih jauh, apa yang mereka kutip
itu harus memenuhi beberapa syarat dan kondisi yang harus terpenuhi sebelum
kita boleh melakukan hal yang sama. Di sinilah pentingnya orang memiliki
pengetahuan yang cukup akan Sirah Nabawiyah. Sehingga tidak mudah terpengaruh
dan terprovokasi, serta akan lebih sabar dalam meniti jalan perjuangan sesuai
dengan jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW.
Kelemahan
kedua : Kalimat “ ‘Isy Kariiman aw Mut
Syahiidan” yang sering dijadikan motto perjuangan atau jargon yang sering
diungkapkan.
Kalimat ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan yang
berarti “ Hidup Mulia atau Mati Syahid” seringkali kita lihat dan kita dengar
sebagai kalimat yang sering diucapkan oleh para aktivis, sering dikutip dan
dituliskan di sudut-sudut buku atau ruangan
sebagai kalimat penggugah jiwa atau sebagai motto hidup. Padahal
penerapan dari makna kalimat ini sebenarnya hanya berlaku pada kondisi dalam
peperangan, yaitu sebagai kalimat pembakar semangat bagi pasukan Islam yang
sedang menghadapi musuh yang kuat.
Dalam Al
Qur’an ada sebuah ayat yang mendukung bahwa “ Hidup Mulia atau Mati Syahid”
adalah dua kebaikan yang akan diperoleh orang yang sedang berperang di jalan
Allah SWT. Konteksnya adalah orang yang sedang berperang, bukan orang-orang
yang aktivitasnya tidak “berbau perang” sama sekali. Di dalam surah At Taubah
ayat 52 Allah SWT berfirman :
” Katakanlah:
"tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi Kami, kecuali salah satu dari dua
kebaikan[1].
dan Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab
(yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, Sesungguhnya Kami
menunggu-nunggu bersamamu."
Kalimat ini
pula yang dijadikan jargon oleh kelompok radikal untuk merekrut aktivis muda
yang masih labil. Mereka menjadikan kalimat itu sebagai salah satu doktrin
sebagaimana yang pernah saya ketahui, seperti pada ungkapan mereka, “ Hidup
mulia adalah ketika engkau mampu melaksanakan tauhid dan syariat Islam dalam kehidupanmu
secara menyeluruh, dan jika tidak mampu maka tempuhlah jalan menuju mati syahid
dalam memperjuangkan tegaknya syari’at. Itulah pilihannya”.
Jika kata-kata
itu disampaikan kepada seorang pemuda yang baru belajar Islam dan ia berada
pada kondisi yang serba sulit seperti sedang menghadapi persoalan ekonomi atau
masalah keluarga atau punya penyakit yang berat dan sebagainya, orang itu akan cenderung
mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan radikal atas nama jihad membela
Islam yang jika mati maka in sya Allah akan memperoleh mati syahid.
Memang dalam
sejarah Islam ada statemen atau ungkapan
yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu Isy Kariman wa Mut Kariiman (hiduplah sebagai orang yang mulia dan
matilah juga sebagai orang yang mulia). Ini adalah ucapan Asma’ binti Abu Bakar
RA kepada anaknya, Abdullah bin Zubair yang kondisinya saat itu sedang diburu
oleh Yazid bin Mu'awiyah yang mengancam akan memutilasi tubuhnya jika sampai
tertangkap. Lalu Asma' binti Abu Bakar RA berkata kepadanya : " Hiduplah mulia
atau mati mulia (Isy kariiman wa mut kariiman). Orang yang sudah mati tidak
akan merasakan sakit lagi walaupun musuh memotong-motong tubuhnya. Majulah
terus anakku, jangan menyerah sampai mati - atau sebagaimana perkataan Asma'
binti Abu Bakar RA-.
Secara
ilmiah, statemen ini dapat didiskusikan dan dianalisis latar belakang historis
dan sosiologisnya. Pesan seorang ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya
sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan yang lainnya.
Pesan Asma’
ini sangat berbeda dengan jargon Isy Kariman au Mut Syahidan, baik redaksional
maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ RA mengarah kepada tujuan hidup mulia
dan mati juga mulia tanpa adanya opsi. Sementara jargon Isy Kariman au Mut
Syahidan tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi,
yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang
menurut tata bahasa Arab untuk “takhyîr” (pilihan).
Lalu setelah direnungkan,
sebenarnya ungkapan ini ('Isy kariiman wa
mut kariiman) lebih universal maknanya dibandingkan 'Isy kariiman au mut
syahidan. 'Isy kariiman wa mut kariiman
memiliki makna agar kita berusaha untuk hidup mulia sesuai dengan syariat Islam
dan mati pun dalam keadaan menetapi syariat Islam atau memperjuangkan syariat
Islam, meskipun matinya tidak di medan perang. Sedangkan 'Isy kariiman atau mut
syahiidan menurut saya hanya tepat digunakan untuk memotivasi orang yang sedang
dalam pertempuran agar tidak ragu lagi dalam bertempur karena akan memperoleh
salah satu dari dua kebaikan, yaitu kemenangan yang berarti kemuliaan atau jika
mati maka mati sebagi syahid. Jadi, karena konteks perjuangan kita tidak selalu
atau hanya di medan perang, maka saya rasa slogan 'Isy kariiman wa mut kariiman lebih tepat, selain juga lebih ilmiah.
Jadi, mari
kita belajar Sirah Nabawiyah yang lengkap dan komprehensif, serta
mengkampanyekan sebuah slogan atau jargon baru yaitu ; “ ‘Isy kariiman wa mut kariiman”, sebagai salah satu upaya menutup
salah satu celah yang bisa dieksploitasi oleh kelom radikal untuk merekrut
generasi muda kita.
Saya berharap
kepada Allah SWT, semoga tulisan sederhana saya ini bisa menginspirasi atau
menjadi pemicu bagi orang-orang yang lebih berilmu untuk merumuskan cara-cara
penanggulangan dan pencegahan radikalisme yang lebih komprehensif sesuai dengan
bidang keahlian masing-masing, lalu bersama-sama kaum muslimin dan segenap
komponen bangsa bekerjasama bahu membahu mencegah dan memotong mata rantai
radikalisme di Indonesia.
[1]
Yaitu
mendapat kemenangan atau mati syahid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar