Sabtu, 24 Februari 2018

Kesalahan Umum Sepele yang (bisa) Menjadi Awal Masuknya Pemikiran Radikal



Sebagai aktivis pergerakan Islam sejak masuk SMU tahun 1998, saya cukup terbiasa dengan berbagai model pembinaan dari beberapa kelompok pergerakan (harakah) yang saya ikuti. Meskipun sejak tahun 2001 saya mulai condong kepada para simpatisan Al Qaidah, saya masih tetap mengikuti beberapa kegiatan bersama kelompok pergerakan yang lain. Meskipun pernah ditegur oleh salah satu ustadz simpatisan Al Qaidah karena dia mengetahui saya juga mengikuti kegiatan teman-teman di kelompok lain, saya tetap saja melanjutkan kegiatan saya bersama aktivis dari kelompok lain. Karena pada dasarnya saya suka bergaul, maka tidak heran saya punya hubungan yang baik dengan teman-teman dari Jamaah Tabligh, HTI, PKS, Hidayatullah, Pemuda Muhammadiyah, sampai IPNU. Dan sekarang setelah saya bebas dari penjara, saya mulai menyambung kembali hubungan dengan teman-teman lama dulu yang masih bisa dihubungi.
Ketika saya merantau ke suatu daerah, saya selalu menjalin hubungan baik dengan kelompok (harakah) yang ada di daerah tersebut. Hal itu saya lakukan untuk mengetahui peta dakwah dan kualitas keislaman masyarakat di daerah tersebut. Dari situ saya kemudian dapat menentukan langkah-langkah dalam mengkover diri saya yang pro jihadis. Jadi, kalau soal berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya masih selalu melakukannya sampai saat-saat terakhir sebelum saya tertangkap.
Dari pengalaman saya berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya mendapati ada beberapa kekurangan yang menurut saya perlu segera diperbaiki, karena beberapa kekurangan atau kelemahan yang saya temukan itu bisa dieksploitasi oleh kelompok radikal untuk mempengaruhi dan mengarahkan pemikiran seseorang kepada pemahaman yang lebih ekstrim. Saya tidak akan menyebut kekurangan atau kelemahan itu terjadi di kelompok mana saja, tapi saya hanya akan fokus membahas kekurangan atau kelemahan itu. Dengan begitu, semua pihak akan memperbaiki dirinya masing-masing setelah mengetahui adanya kekurangan atau kelemahan itu. Setidaknya ada dua kelemahan besar yang dianggap sepele dan yang selalu menjadi celah yang dieksploitasi oleh orang-orang radikal tak bertanggungjawab.
Kelemahan pertama : Meremehkan materi Sirah Nabawiyah ( Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW ) yang urut dan lengkap dalam kajian-kajian mereka.
Materi Sirah Nabawiyah ini sangat penting untuk disampaikan secara lengkap, urut, dan sistematis. Karena dengan memahami bagaimana sejarah Rasulullah SAW dalam berdakwah dan membina masyarakat Islam. Kita akan mengetahui tahapan-tahapan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang menjadi awal peradaban terbaik dari sejarah kaum muslimin. Kita akan mengetahui bagaimana sikap Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika dalam kondisi lemah, dalam kondisi membangun masyarakat, dalam kondisi sudah punya kekuatan, dan kondisi ketika meraih kemenangan atas musuh-musuh Islam. Semua telah ada contohnya.
Dengan mengetahui Sirah Nabawiyah, seseorang akan mengetahui bahwa perjalanan perjuangan dakwah Rasul SAW itu melalui beberapa tahapan dan butuh waktu yang panjang. Ia akan lebih bijak dalam melihat kondisi di sekelilingnya, dan tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak sabar meniti jalan perjuangan yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Orang-orang yang berpikiran sempit dan berpemahaman radikal suka mengutip penggalan kisah perjuangan Rasulullah SAW  pada salah satu tahap atau fase untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan atau yang akan mereka lakukan. Padahal jika diteliti lebih jauh, apa yang mereka kutip itu harus memenuhi beberapa syarat dan kondisi yang harus terpenuhi sebelum kita boleh melakukan hal yang sama. Di sinilah pentingnya orang memiliki pengetahuan yang cukup akan Sirah Nabawiyah. Sehingga tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi, serta akan lebih sabar dalam meniti jalan perjuangan sesuai dengan jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW.
Kelemahan kedua : Kalimat “ ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan” yang sering dijadikan motto perjuangan atau jargon yang sering diungkapkan.
Kalimat ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan yang berarti “ Hidup Mulia atau Mati Syahid” seringkali kita lihat dan kita dengar sebagai kalimat yang sering diucapkan oleh para aktivis, sering dikutip dan dituliskan di sudut-sudut buku atau ruangan  sebagai kalimat penggugah jiwa atau sebagai motto hidup. Padahal penerapan dari makna kalimat ini sebenarnya hanya berlaku pada kondisi dalam peperangan, yaitu sebagai kalimat pembakar semangat bagi pasukan Islam yang sedang menghadapi musuh yang kuat.
Dalam Al Qur’an ada sebuah ayat yang mendukung bahwa “ Hidup Mulia atau Mati Syahid” adalah dua kebaikan yang akan diperoleh orang yang sedang berperang di jalan Allah SWT. Konteksnya adalah orang yang sedang berperang, bukan orang-orang yang aktivitasnya tidak “berbau perang” sama sekali. Di dalam surah At Taubah ayat 52 Allah SWT berfirman :

” Katakanlah: "tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi Kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan[1]. dan Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, Sesungguhnya Kami menunggu-nunggu bersamamu."

Kalimat ini pula yang dijadikan jargon oleh kelompok radikal untuk merekrut aktivis muda yang masih labil. Mereka menjadikan kalimat itu sebagai salah satu doktrin sebagaimana yang pernah saya ketahui, seperti pada ungkapan mereka, “ Hidup mulia adalah ketika engkau mampu melaksanakan tauhid dan syariat Islam dalam kehidupanmu secara menyeluruh, dan jika tidak mampu maka tempuhlah jalan menuju mati syahid dalam memperjuangkan tegaknya syari’at. Itulah pilihannya”.
Jika kata-kata itu disampaikan kepada seorang pemuda yang baru belajar Islam dan ia berada pada kondisi yang serba sulit seperti sedang menghadapi persoalan ekonomi atau masalah keluarga atau punya penyakit yang berat dan sebagainya, orang itu akan cenderung mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan radikal atas nama jihad membela Islam yang jika mati maka in sya Allah akan memperoleh mati syahid.
Memang dalam sejarah Islam ada statemen atau ungkapan  yang mirip dengan jargon tersebut, yaitu Isy Kariman wa Mut Kariiman (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai orang yang mulia). Ini adalah ucapan Asma’ binti Abu Bakar RA kepada anaknya, Abdullah bin Zubair yang kondisinya saat itu sedang diburu oleh Yazid bin Mu'awiyah yang mengancam akan memutilasi tubuhnya jika sampai tertangkap. Lalu Asma' binti Abu Bakar RA berkata kepadanya : " Hiduplah mulia atau mati mulia (Isy kariiman wa mut kariiman). Orang yang sudah mati tidak akan merasakan sakit lagi walaupun musuh memotong-motong tubuhnya. Majulah terus anakku, jangan menyerah sampai mati - atau sebagaimana perkataan Asma' binti Abu Bakar RA-.
Secara ilmiah, statemen ini dapat didiskusikan dan dianalisis latar belakang historis dan sosiologisnya. Pesan seorang ibu tersebut bisa dibaca dalam karya-karya sejarah klasik seperti Tarikh Dimisyqa karya Ibnu Asakir dan yang lainnya.
Pesan Asma’ ini sangat berbeda dengan jargon Isy Kariman au Mut Syahidan, baik redaksional maupun setting sejarahnya. Pesan Asma’ RA mengarah kepada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia tanpa adanya opsi. Sementara jargon Isy Kariman au Mut Syahidan tersebut menggiring orang untuk memilih satu di antara dua opsi, yaitu: hidup mulia atau mati syahid dengan pemakaian kata sambung “au” yang menurut tata bahasa Arab untuk “takhyîr” (pilihan).
Lalu setelah direnungkan, sebenarnya ungkapan ini ('Isy kariiman wa mut kariiman) lebih universal maknanya dibandingkan 'Isy kariiman au mut syahidan. 'Isy kariiman wa mut kariiman memiliki makna agar kita berusaha untuk hidup mulia sesuai dengan syariat Islam dan mati pun dalam keadaan menetapi syariat Islam atau memperjuangkan syariat Islam, meskipun matinya tidak di medan perang. Sedangkan 'Isy kariiman atau mut syahiidan menurut saya hanya tepat digunakan untuk memotivasi orang yang sedang dalam pertempuran agar tidak ragu lagi dalam bertempur karena akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan, yaitu kemenangan yang berarti kemuliaan atau jika mati maka mati sebagi syahid. Jadi, karena konteks perjuangan kita tidak selalu atau hanya di medan perang, maka saya rasa slogan 'Isy kariiman wa mut kariiman lebih tepat, selain juga lebih ilmiah.
Jadi, mari kita belajar Sirah Nabawiyah yang lengkap dan komprehensif, serta mengkampanyekan sebuah slogan atau jargon baru yaitu ; “ ‘Isy kariiman wa mut kariiman”, sebagai salah satu upaya menutup salah satu celah yang bisa dieksploitasi oleh kelom radikal untuk merekrut generasi muda kita.
Saya berharap kepada Allah SWT, semoga tulisan sederhana saya ini bisa menginspirasi atau menjadi pemicu bagi orang-orang yang lebih berilmu untuk merumuskan cara-cara penanggulangan dan pencegahan radikalisme yang lebih komprehensif sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, lalu bersama-sama kaum muslimin dan segenap komponen bangsa bekerjasama bahu membahu mencegah dan memotong mata rantai radikalisme di Indonesia.

[1] Yaitu mendapat kemenangan atau mati syahid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar