Beberapa
bulan pasca meletusnya peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2001, saya baru tahu bahwa
para ustadz yang selama ini saya ikuti kajiannya ternyata adalah simpatisan
para pelaku Bom Bali. Saya baru
menyadarinya ketika mereka banyak memuji para pelaku setiap kali ada
pemberitaan di media massa. Lama kelamaan mereka mulai menerangkan dalil dan
alasan mengapa sampai para pelaku itu melakukan peledakan di Bali. Dan saya
waktu itu dapat menerima adanya alasan dan dalil-dalil tersebut hingga saya pun
memaklumi apa yang telah dilakukan oleh para pelaku Bom Bali.
Lama kelamaan
saya mulai menganggap apa yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang hebat,
sama persis dengan anggapan saya terhadap para pelaku serangan 11 September
2001. Para ustadz itu juga memuji-muji serangan 11 September itu dan
menjelaskan alasan serta dalil yang melandasi adanya serangan itu. Sama persis
dengan yang mereka lakukan pasca kasus Bom Bali.
Hingga pada
suatu ketika, akhirnya saya mengetahui dari salah satu ustadz itu bahwa mereka
adalah para kader Jamaah Islamiyah (JI) dan kami adalah binaan mereka yang
otomatis berarti simpatisan JI. Hal ini sangat mengejutkan saya kaena saya
awalnya berpikir bahwa JI adalah organisasi rekaan aparat kemanan. Tapi saya
tetap ikut kajian para ustadz itu dan sebagai anak muda saya justru merasa
bangga menjadi simpatisan sebuah organisasi yang menurut aparat keamanan adalah
organisasi berbahaya.
Sampai pada
awal tahun 2007 saya kedatangan seorang tamu yang diamanahkan oleh salah satu
ustadz saya untuk menginap di rumah kontrakan saya selama beberapa hari sambil
menunggu jadwal kegiatan tamu itu selesai di daerah kami. Selama kurang lebih
seminggu tamu itu menginap di rumah saya, saya sering berdiskusi dan mendengar
cerita-cerita dari tamu itu. Tamu itu banyak menceritakan tentang pengalamannya
berjihad di Ambon dan hubungannya dengan Imam Samudra yang terbina sejak dulu.
Dia juga juga menceritakan tentang bagaimana peristiwa-peristiwa ajaib yang
sering terjadi pada para mujahidin di Ambon yang membuktikan tentang benarnya
apa yang mereka lakukan. Ia juga selalu menekankan dalam cerita-cerita tentang
aktivitas jihad di Ambon itu bahwa untuk mulai berjihad tidak perlu harus
memiliki persenjataan yang memadai, cukup dengan niat yang benar dan tekad yang
kuat disertai keyakinan bahwa Allah SWT akan selalu menolong setiap orang yang
-ingin- menolong agamaNya.
Dari
cerita-cerita itu saya kemudian merasa kagum dan terinspirasi untuk ingin
merasakan seperti apa yang ia ceritakan. Apalagi dia selalu menekankan bahwa
amalan jihad adalah amalan tertinggi dalam Islam dan pahalanya paling besar di
antara amalan-amalan lainnya, serta masih sedikitnya orang-orang yang paham
akan pentingnya jihad ini. Setelah melihat ketertarikan saya untuk terlibat
dalam sebuah kegiatan dalam rangka jihad, dia lalu menyampaikan bahwa apa yang
telah dilakukan oleh Imam Samudra cs harus dilanjutkan. Sudah saatnya kita
melakukan perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan yang menindas dan mendhalimi
kaum muslimin selama ini. Saatnya menunjukkan kepada dunia bahwa ummat Islam
masih bisa melakukan perlawanan, dan mengirimkan pesan kepada pihak yang
memusuhi Islam agar mereka menghentikan kedhalimannya kepada kaum muslimin.
Dari
pemaparan-pemaparan tamu itu saya jadi semakin membenarkan apa yang telah
dilakukan oleh Al Qaeda dan para pelaku rangkaian serangan pengeboman di
Indonesia. Dan mulai muncul tekad di dalam diri saya bahwa jika saya diminta
untuk membantu sebuah kegiatan dalam rangka jihad, maka saya akan dengan
sukarela membantu semampu saya. Sejak saat itulah saya mulai terobsesi untuk
terlibat dalam sebuah usaha dalam menghidupkan jihad di Indonesia. Ada suatu
kebanggaan jika bisa terlibat dalam rangkaian sebuah amalan tertinggi itu.
Semangat
untuk menghidupkan jihad di Indonesia itu semakin membuncah tatkala saya
bertemu dengan ratusan atau mungkin ribuan orang yang hadir ke Tenggulun
Solokuro Lamongan pada waktu menjelang dan sesudah eksekusi mati terhadap
Amrozy, Mukhlas, dan Imam Samudra. Saya semakin yakin karena merasa ternyata
banyak orang yang bersimpati atas apa yang dilakukan oleh Trio Pelaku utama Bom
Bali I tersebut. Pada waktu itu saya
berpikir bahwa memang benar perjuangan mereka bertiga harus dilanjutkan, tapi
bagaimana caranya dan dari mana saya akan memulainya ?
Singkat
cerita, saya kemudian bertemu dengan orang-orang yang sepemikiran dengan saya
di channel-channel mIRC, grup-grup mailing
list dan forum-forum jihadi. Dari situ
saya jadi tahu rilisan-rilisan berita jihad dari seluruh penjuru dunia yang
semakin membakar semangat saya. Lalu sejak 2010 berkembang lagi lebih pesat di
era Facebook dan Twitter. Dari hasil pergaulan dan interaksi di media-media
online itu saya kemudian bertemu di dunia nyata dengan beberapa orang teman di
dunia maya yang memiiliki pemikiran yang sama.
Dan akhirnya
sejak tahun 2010 mulai ada teman yang menggunakan jasa saya. Mulai disuruh mengantarkan
senjata, mengurus orang yang akan berangkat ke suatu tempat tapi harus transit
dulu di tempat saya, mengambilkan dana dari seseorang dan mengantarkan atau
mengirimkan ke orang yang akan menerima dan menggunakan dana itu, sampai membelikan
senjata. Sampai akhirnya karena salah satu perbuatan saya itu, saya kemudian ditangkap
aparat pada tahun 2014.
Sejauh ini
keterlibatan saya adalah membantu teman yang memiliki agenda tertentu yang sebenarnya
detail persisnya saya tidak tahu, karena selalunya saya didoktrin untuk tidak
boleh bertanya lebih jauh ketika hendak melakukan tugas dari mereka, hanya
sebatas diberitahu : ini untuk I’dad, orang
ini akan mengikuti pelatihan, laksanakan saja karena ini jelas untuk
jihad, antum tidak perlu tahu karena tugas antum hanya ini,dll.
Ketika kadang
saya ragu, mereka lalu mengatakan ,” jika antum masih ragu, coba pikirkan
bagaimana jika apa yang sedang kita rintis ini lalu terhenti karena sebab antum
menolak tugas ini ? Bagaimana jika antum tidak mencarikan dana lalu banyak
orang-orang yang terlantar karenanya ? dst...dst...
Perkataan seperti
itu selalu membuat saya akhirnya selalu mau melaksanakan tugas yang mereka
berikan tanpa banyak bertanya. Dan itu pulalah yang membuat saya terkait banyak
kasus meskipun keterlibatan saya hanya
sedikit-sedikit.
Pelajaran dari Kisah Ini
Pelajaran yang
bisa saya sebutkan di sini tentu saja dari sudut pandang saya, dan para pembaca
sekalian bisa jadi memperoleh pelajaran lebih banyak dari saya. Setidaknya ada
beberapa pelajaran yang bisa saya sampaikan di sini, yaitu :
1. Kesalahan
pertama saya adalah awalnya hanya mengikuti kajian keislaman dari satu
kelompok, yang ternyata kelompok itu mengajarkan bahwa di luar kelompok kami
banyak bid’ahnya, banyak penyimpangannya, dll, sehingga terpatri dalam benak saya bahwa ini adalah
kelompok yang paling baik di antara kelompok-kelompok yang ada. Pemikiran ini
membuat apa pun yang disampaikan oleh para ustadz cenderung selalu saya anggap
benar dan merupakan jalan yang harus saya ikuti yang dapat menghantarkan kepada
ridha Allah SWT.
Oleh karena itu
saya berpesan, agar dalam belajar tentang agama Islam tidak mengambil hanya
dari satu kelompok dan jangan sekali-kali menganggap kelompok yang kita ikuti
adalah yang terbaik. Anggaplah kelompok itu baik tapi di kelompok lain juga ada
kebaikannya, tidak dilihat dari penyimpangannya tetapi dari kebaikan yang ada,
karena pada masing-masing kelompok pasti ada kelemahan dan kekurangannya. Ingatlah,
kebenaran itu bisa ada di mana saja dan tugas kita adalah menemukan kebenaran
itu. Saya yakin Anda semua pasti sudah tahu ungkapan “ Lihatlah apa yang
dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakannya”.
Dari kesalahan
ini saya kemudian selalu berpikir secara eksklusif, merasa berjuang itu cukup
dengan kelompok saya, tanpa memikirkan ummat di luar kelompok saya apakah
mereka dapat menerima kami atau tidak, tanpa memikirkan dampaknya pada ummat,
dan tanpa memperhatikan pendapat-pendapat di luar kelompok kami terkait jalan
perjuangan meninggikan Islam.
Sampai akhirnya
atas karunia dan rahmat Allah SWT saya bertemu dengan teman yang menyampaikan
kata-kata yang membuat saya berubah pikiran 180 derajat menjadi terbuka dengan
orang dan pemikiran di luar kelompok saya dan mulai meneliti di mana saja kesalahan
yang telah saya perbuat.
2. Kesalahan
kedua adalah terlalu termakan propaganda tentang aksi-aksi dan kisah-kisah
jihad dari seluruh penjuru dunia yang saya dapati dari forum-forum jihadi, yang
kemudian selalu dikutip oleh teman-teman untuk saling menyemangati. Sebagai contoh
adalah kisah pembajakan pesawat yang digunakan untuk menyerang Menara Kembar
WTC di New York yang hanya berbekal pisau cutter,
yang kemudian dibuat sedemikan rupa redaksinya sehingga didapat kesan bahwa
jihad itu bisa dilakukan dengan peralatan yang sederhana. Dan masih banyak lagi
kisah-kisah yang serupa.
Tak pernah
terpikirkan oleh saya tentang perbedaan situasi dan kondisi para pelaku jihad dalam
cerita itu dan bagaimana mereka bisa berada pada kondisi seperti itu. Coba Anda
pikirkan lebih dalam, bukankah kondisi
setiap orang itu berbeda-beda ? Kenapa harus memaksakan mengikuti jalan
seseorang atau sekelompok orang yang berbeda situasi dan kondisinya dengan kita
?
Ini seperti
orang yang ingin tampil bak artis tapi pada dasarnya tubuhnya sama sekali tidak
memenuhi standar untuk tampil seperti artis. Bukankah lebih baik mengikuti
jalan kita sendiri yang kita tahu persis bagaimana menjalaninya ?
Tapi mungkin
itulah salah satu tabiat dasar manusia yaitu ingin meniru apa yang menurutnya
terlihat bagus. Sangat jarang yang mencoba menciptakan sendiri sesuatu yang
baru dan lebih bagus dari hal-hal yang sudah ada pada dirinya sendiri.
Pesan saya
terkait hal ini : Eksplorasilah apa yang ada pada diri kita dan lingkungan kita
masing-masing, dan mulailah melibatkan diri bersama ummat untuk berjuang dalam memperbaiki
dan meningkatkannya. Itulah jalan perjuangan yang lebih jelas.
3. Kesalahan
yang berikutnya adalah saya terlalu takut dengan sesuatu yang belum terjadi
yang belum tentu juga saya sebagai penyebabnya. Hal ini selalu terjadi ketika
saya ditakut-takuti jika saya tidak melakukan tugas yang dibebankan kepada saya
maka akan terjadi hal-hal buruk bla...bla...bla...
Akhirnya saya
melakukan suatu tugas tidak lagi murni semata-mata karena keyakinan saya bahwa
yang saya lakukan adalah benar, tetapi sudah tercampur rasa takut dan khawatir
akan terjadinya hal-hal buruk itu. Padahal seharusnya jika saya ragu saya bisa tetap
bersikukuh tidak bersedia melakukannya. Meskipun hal-hal buruk itu benar-benar terjadi, bukankah itu justru menjadi bukti
bahwa kegiatan yang sedang mereka lakukan itu sebenarnya tidak bisa dilakukan
di sini, dan bukan karena kesalahan saya yang menolak tugas dari mereka ?
Demikianlah kisah
dan pelajaran yang bisa saya sampaikan kali ini. In sya Allah saya akan
menuliskan kisah dan pelajaran selanjutnya pada kesempatan berikut. Semoga bermanfaat...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar