Rabu, 07 Februari 2018

Pengalaman Bersama Jihadis (1)



Pengalaman Bersama Jihadis (1)

Sebagaimana yang telah saya sampaikan di akhir tulisan sebelumnya bahwa yang akan saya ceritakan adalah fakta-fakta dan kejadian yang saya memperoleh pelajaran darinya. Saya menulis ini ketika saya telah mengetahui di mana letak kesalahan yang terjadi dan bagaimana seharusnya yang benar. Jadi, setiap saya menceritakan sebuah fakta atau kejadian atau kasus, akan saya sertakan langsung pelajaran dari fakta atau kejadian atau kasus tsb dan juga bagaimana seharusnya menurut ilmu dan pemahaman saya yang baru.
Saya akan memulai cerita dari fakta seputar pemahaman Tauhid yang selalu jadi andalan kelompok ekstrim/radikal sebagai jurus andalan dalam merekrut dan memprovokasi orang dan juga sebagai dasar menghukumi orang di luar kelompok mereka. Kedengarannya aneh ya, kok tauhid jadi jurus andalan dalam merekrut dan memprovokasi orang ? Nanti Anda in sya Alloh akan mengetahuinya setelah membaca uraian saya.
Anda mungkin sering mendengar bahwa kelompok radikal mudah mengkafirkan orang Islam (muslim) lain dan itu memang benar adanya. Mudah mengkafirkan itu lahir dari pemahaman tauhid yang sempit. Mengapa mereka memiliki pemahaman yang sempit ? Karena yang mengajarkan tauhid kepada mereka mengajarinya dalam makna yang sempit. Mengapa mereka mengajarkan tauhid dalam makna yang sempit ? Karena mereka memiliki tujuan tertentu ketika mengajarkan tauhid itu, bukan lagi karena menunaikan kewajiban mengajarkan tauhid dan ilmu yang benar. Dari mana saya mendapatkan kesimpulan itu ? Mari kita bahas.
Saya mendengar banyak cerita dari beberapa orang tentang bagaimana akhirnya mereka bisa ikut terlibat dalam sebuah kelompok yang melakukan “tindakan radikal”. Bagaimana mereka tiba-tiba jadi pemberani dan sangat patuh kepada “petunjuk dan arahan” dari ustadz mereka. Saya juga menyaksikan sendiri bagaimana orang yang mereka anggap ustadz itu dalam mempengaruhi para pengikutnya. Dari situlah saya menyimpulkan bahwa ustadz itu memiliki tujuan dan tendensi pribadi ketika mengajarkan tauhid, bukan lagi karena hendak mengajarkan tauhid yang benar dan menyeluruh.
Saya merangkum semua cerita yang pernah saya dengar dan saksikan dalam sebuah cerita yang mewakili semua yang kaitannya seputar pemahaman tauhid ini.
Cerita ini bermula tentang bagaimana beberapa orang yang baru mengikuti beberapa kali ta’lim bisa terlibat sebuah “tindakan radikal”. Awalnya mereka mengikuti ta’lim karena semangat ingin belajar Islam pada seorang ustadz yang kemudian di lain waktu ustadz itu merekomendasikan untuk belajar kepada ustadz lain yang ditunjuknya yang ternyata memiliki pemahaman yang sama. Dari ustadz itu dan kawan-kawannya, orang-orang  itu baru diajarkan tentang tauhid. Saya terperanjat kaget. Bagaimana orang yang baru belajar tentang tauhid kok bisa langsung mau melakukan “tindakan radikal”? Tauhid yang bagaimana yang diajarkan kepada mereka ?
Mulailah saya bertanya kepada mereka dengan berpura-pura kagum dengan ustadz-ustadz mereka yang bisa membuat orang mau melakukan “tindakan radikal” dalam waktu singkat. Saya bertanya tentang kronologinya dan berapa lama proses yang mereka jalani sejak mengikuti ta’lim sampai melakukan “tindakan radikal”. Mereka pun dengan senang hati menceritakannya.
Awalnya mereka mengikuti kajian atau taklim yang membahas tentang tauhid. Dalam kajian itu mereka diajarkan tentang pemahaman tauhid yang bagi mereka adalah sesuatu yang baru. Mereka diajari tentang konsekwensi tauhid yang benar yaitu harus menegakkan syariat Allah SWT dalam kehidupan dan mengingkari thaghut. Hal ini memang benar, tetapi masalahnya adalah apabila salah dalam memberikan penjelasan tentang bagaimana menegakkan syariat dan mengingkari thaghut itu.
Selanjutnya para ustadz mereka itu menyampaikan bahwa syariat Islam tidak akan bisa ditegakkan jika kita masih berada dalam kekuasaan thaghut. Dan pada saat yang sama para ustadz itu menjelaskan bahwa penguasa di negeri ini adalah thaghut dan musuh Islam karena tidak memberlakukan syariat Islam di negeri ini, ditambah dengan penjelasan tentang keburukan dan kedhaliman yang dilakukan oleh penguasa dan aparatnya kepada umat Islam selama ini. Mulailah timbul kebencian di dalam diri mereka terhadap penguasa atau pemerintah Indonesia.
Kebencian itu semakin menjadi besar seiring bertambahnya penjelasan para ustadz itu tentang segala ketidaknyamanan akibat berlakunya hukum-hukum dan aturan yang bertentangan dengan syariat Islam. Mulai dari riba yang mencekik ekonomi umat, maraknya kemungkaran dan kejahatan, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, sampai sistem politik yang carut marut karena menganut demokrasi. Semua penjelasan itu mengarah ke satu titik yaitu bahwa penyebab semua itu adalah karena tidak berlakunya hukum dan syariat Islam dalam kehidupan. Dan yang paling bertanggungjawab adalah para penguasa negeri ini.
Selanjutnya mereka mulai bertanya tentang bagaimana solusi menghadapi kondisi yang serba tidak ideal itu sekaligus bagaimana agar tetap bisa bertauhid yang benar. Mulailah para ustadz itu memasukkan doktrinnya. Bahwa yang harus dilakukan untuk membela dan menegakkan syariat Islam yang sekaligus melaksanakan tingkatan tauhid yang paling tinggi adalah dengan berjihad memerangi para pengusung dan pembela hukum buatan manusia yang mereka definisikan sebagai thaghut itu. Deg, saya kembali dibuat terkejut.
Mereka lalu bertanya, bagaimana caranya memerangi para thaghut itu di tengah kondisi mereka yang serba kekurangan ? Maka masuklah doktrin yang selanjutnya. Para ustadz itu menyampaikan, jika tidak mampu memerangi maka setidaknya mereka harus mendukung orang-orang yang telah dan sedang berjihad memerangi thaghut. Mereka bisa menyumbangkan harta kepada para pelaku jihad, atau menyantuni keluarga para pelaku jihad yang sedang ditinggal berjihad atau yang sedang dipenjara. Di samping itu para ustadz itu juga tetap menekankan bahwa jika mampu memerangi tahghut itu adalah yang terbaik.
Muncul lagi pertanyaan selanjutnya dari mereka, yaitu bagaimana mereka bisa memberikan bantuan harta kepada para pelaku jihad atau menyantuni keluarganya, sedangkan mereka sendiri serba kekurangan ? Masuk lagi doktrin berikutnya, yaitu menjelaskan tentang bolehnya mengambil harta milik negara atau intitusi negara atau perusahaan milik negara karena status mereka sebagai thaghut, sehingga hartanya boleh diambil untuk kepentingan jihad memerangi thaghut. Masuklah mereka dalam pembahasan tentang fa’i, yang didefinisikan oleh mereka sebagai upaya mengambil harta orang kafir untuk dipergunakan dalam keperluan jihad. Contoh harta yang boleh diambil menurut mereka adalah : Uang yang ada di Bank-bank atau kantor pemerintah, toko-toko atau barang-barang berharga milik orang kafir, dan kendaraan berplat merah.
Hal ini menyebabkan banyak dari mereka yang tergiur untuk melakukan apa yag mereka sebut dengan fa’i itu, yang mana berdasarkan arahan dari para ustadz mereka setelah mendapatkan harta dengan jalan fa’i itu, mereka bisa melakukan banyak hal dalam rangka jihad. Mereka bisa membantu para pelaku jihad, bisa menyantuni keluarga para pelaku jihad, bisa menyiapkan sarana dan prasarana untuk latihan agar bisa ikut serta memerangi thaghut, dan tentu saja ada bagian yang boleh mereka ambil sebagai hak mereka karena terlibat dalam sebuah operasi fa’i.
Setelah ada banyak orang yang menyatakan diri siap melakukan fa’i, para ustadz itu lalu mendatangkan beberapa orang instruktur yang akan mengajarkan dan memimpin mereka dalam operasi (amaliyah) fa’i yang akan mereka lakukan. Dan proses dari mengenal tauhid sampai mereka pertama kali melakukan sebuah amaliyah fa’i itu hanya perlu waktu 3-4 bulan. Wow !
Dari cerita itu saya menyimpulkan bahwa para ustadz mereka itu sedari awal memiliki agenda untuk merekrut dan menyiapkan orang yang siap melakukan amaliyah. Buktinya adalah :
Pertama : Ketika ditanya tentang bagaimana solusi menghadapi kondisi yang serba tidak ideal itu sekaligus bagaimana agar tetap bisa bertauhid yang benar, mereka langsung menjawab bahwa yang harus dilakukan  untuk membela dan menegakkan syariat Islam yang sekaligus melaksanakan tingkatan tauhid yang paling tinggi adalah dengan berjihad memerangi para pengusung dan pembela hukum buatan manusia yang mereka definisikan sebagai thaghut itu. Para ustadz itu sama sekali tidak menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan dalam merealisasikan tauhid sesuai dengan kondisi yang ada. Orang-orang itu langsung diarahkan untuk melakukan amaliyah.
Kedua : Ketika ditanya bagaimana caranya berjihad memerangi para thaghut itu di tengah kondisi mereka yang serba kekurangan, para ustadz itu menjelaskan tentang tingkatan orang yang berjihad melawan thaghut, yaitu jika tidak mampu berjihad maka bisa dengan menginfaqkan hartanya kepada para pelaku jihad atau minimal dengan menyantuni keluarga yang ditinggalkan para pelaku jihad. Dari sini sebenarnya sudah mulai bisa ditebak arahnya yaitu ingin mengumpulkan harta yang akan dipergunakan untuk mendukung dan menopang jihad.
Ketiga : Ketika orang-orang itu menyatakan siap dan ingin melakukan fa’i, para ustadz itu langsung mendatangkan para instruktur yang akan melatih dan memimpin mereka dalam amaliyah fa’i yang akan mereka lakukan. Artinya para instruktur itu sudah siap sejak awal menunggu orang-orang yang siap melakukan fa’i. Para ustadz itu dan para instruktur itu sebenarnya adalah satu tim atau satu kelompok yang sedari awal memang punya tujuan merekrut orang untuk sebuah proyek amaliyah.
Keempat : Di antara para ustadz dan instruktur itu ada yang kemudian ikut tertangkap pasca terbongkarnya amaliyah mereka, dan terungkap memang mereka merencanakan hal itu dari awal. Ini berarti dakwah dan pengajaran yang mereka sampaikan sudah mereka setting agar mengarah kepada cepat tercapainya sekelompok orang yang siap melakukan amaliyah tanpa menjelaskan sampai tuntas dari bab yang mereka bahas, hanya diambil yang sesuai atau yang mendukung terlaksananya rencana mereka. Ini namanya dakwah yang tendensius.
Pelajaran dari kisah di atas
Modus perekrutan bermodal mengajarkan sebagian kecil dari tauhid ini adalah modus yang paling umum digunakan oleh setiap kelompok pelaku jihad di Indonesia dari era kelompok pelaku bom Mapolres Cirebon  sampai era ISIS. Dan modus ini cukup sukses merekrut banyak orang dalam waktu singkat, termasuk perekrutan di dunia maya pun mengadopsi modus yang hampir sama.
Dari kisah di atas, sekarang Anda akan lebih mudah memahami mengapa banyak orang yang bisa ter-radikalisasi dalam waktu singkat. Hal ini juga menjawab adanya tuduhan sebagian orang bahwa radikalisme ini adalah rekayasa pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan Indonesia. Saya tegaskan tidak ada rekayasa, itu murni lahir dari segolongan orang yang memiliki pemahaman yang salah terhadap beberapa bagian dari ajaran Islam.
Menurut saya cara yang cukup ampuh untuk menangkal doktrin para ustadz itu adalah dengan bersikap kritis terhadap setiap apa yang disampaikan oleh para ustadz itu. Misalnya dengan menanyakan : “ Jika menurut ustadz cara menegakkan syariat dan tingkatan tauhid yang paling tinggi adalah berjihad memerangi thaghut, mengapa ustadz tidak melakukannya lebih dulu ?”. Atau pertanyaan seperti ini : “ Bagaimana jika kita tertangkap oleh aparat ketika baru saja mulai melakukan amaliyah lalu dipenjara ? Siapa yang akan mengurus keluarga kami ? Bukankah jika itu terjadi kami malah semakin membebani umat, bukannya membantu memperjuangkan mereka ? Dan juga jika itu terjadi bagaimana kami akan melanjutkan belajar kami tentang Islam lebih dalam, padahal kami baru saja mulai belajar Islam yang benar ?
( Bersambung, in sya Allah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar