Pengalaman Bersama
Jihadis (2)
Masih
melanjutkan tentang pemahaman tauhid yang kali ini adalah tentang bagaimana
para kelompok radikal itu menyikapi orang di luar kelompok mereka dengan
parameter pemahaman tauhid versi mereka, dan bagaimana para ustadz mereka
menjaga “loyalitas” para pengikut atau binaannya.
Saya
merangkum semua cerita dan fenomena yang saya temui terkait hal ini sejak masih
di tahanan kepolisian sampai ketika sudah di Lapas. Beberapa fenomena itu
kadang membuat miris, hanya karena sebuah perbedaan pendapat dan sikap di
antara sesama napiter tapi selalu dibawa ke arah pemahaman tauhid versi
orang-orang radikal itu. Sehingga kata-kata “ si Fulan sudah murtad”, “ si
Fulan itu gak benar Islamnya”, “ si Fulan itu diragukan Islamnya”, dll itu menjadi sebuah ungkapan yang biasa bagi
mereka.
Saya akan
memulai dari bagaimana para ustadz mereka menjaga loyalitas para pengikutnya,
termasuk pengikut baru yang mereka dapatkan di Lapas-lapas. Biar lebih mudah,
saya akan menyebutkan poin demi poin.
Pertama :
Fakta bahwa sebenarnya ilmu para ustadz mereka itu tidak mendalam.
Saya
mendapati selama saya di penjara apa yang mereka ajarkan tentang tauhid kepada
para pengikutnya dan pengikut-pengikut yang baru di Lapas-lapas, tidak pernah
membahas lebih jauh dari yang sudah pernah saya dengar di rutan Mako Brimob.
Padahal setelah saya teliti, ternyata apa yang mereka ajarkan itu barulah
bagian awal dari kitab yang menjadi rujukan mereka dalam masalah tauhid. Bagian
awal itu tentu saja sifatnya masih global, masih berupa kaidah-kaidah dasar,
masih belum membahas yang lebih rinci dan belum membahas berbagai contoh kasus dari
berbagai keadaan yang ditemui. Dan juga mereka tidak memperhitungkan bagaimana
kondisi dan latar belakang ulama’ yang menulis kitab itu. Bukankah kondisi di
mana ulama itu hidup sangat mempengaruhi pendapat-pendapatnya ?
Lalu di
kemudian hari kalau pun mereka mengutip isi kitab yang sama tapi bagian dalam,
yang mereka kutip itu hanyalah yang memperkuat pendapat mereka berdasarkan
kaidah di awal kitab atau yang sesuai dengan arah dakwah yang mereka inginkan.
Seandainya para pengikut mereka mau mengkaji kitab aslinya secara menyeluruh,
mereka akan dengan mudah mengetahui kebodohan ustadz mereka. Tapi hal
ini sulit terjadi karena mayoritas pengikut mereka adalah orang-orang
yang tidak paham bahasa Arab dan secara ekonomi sulit mendapatkan kitab
tersebut.
Kedua : Para
ustadz itu membuat dirinya di hadapan para pengikutnya nampak lebih tinggi,
lebih berilmu,lebih baik, lebih hebat, dll dengan cara menjatuhkan pribadi
orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengannya. Apalagi jika yang berbeda
pendapat itu sebenarnya memiliki dasar argumen yang lebih kuat dan lebih
ilmiah, maka para ustadz itu akan beramai-ramai mencari aib atau cela orang
tersebut dan menyebarkannya di hadapan para pengikutnya.
Setiap kali
ada pengikutnya yang menyampaikan sebuah pendapat yang berbeda, terutama dalam
masalah tauhid dan masalah yang dapat merugikan kelompok mereka, serta merta
para ustadz itu akan menyampaikan : “ jangan mudah mengikuti pendapat orang
itu, kita lihat dulu apakah dia ada cacat pada sikap dan pendapatnya yang
lain”, ini berlaku kepada orang yang belum diketahui cacat atau celanya. Atau “
jangan ikuti pendapat orang yang salah dalam menghukumi dan menyikapi hal ini
dan itu”, “orang yang seperti itu tidak bisa diambil pendapatnya”, dll jika
mereka telah mengetahui cacat orang tersebut.
Akibatnya
para pengikut mereka sulit menerima pendapat dari orang lain atau kelompok
lain, dan selalu memandang rendah orang lain. Sikap para pengikutnya pun
sebelas dua belas dari para ustadznya, bahkan kebanyakan lebih parah dari
ustadznya. Ya, seperti kata pepatah “ guru kencing berdiri, murid kencing
berlari”. Jika ustadznya berpikiran sempit maka murid-muridnya akan berpikiran
sempit juga. Ustadz yang berpikiran sempit biasanya adalah ustadz yang sombong
dan tidak tulus dalam berdakwah. Dia mulai suka dengan pengikut yang banyak dan
takut kehilangan pengikut sehingga dia membatasi pengikutnya dari mempelajari
hal-hal di luar pemahaman kelompoknya.
Jika dia ustadz yang ikhlas lagi tawadhu’,
tentu ia akan mendorong para muridnya agar menuntut ilmu lebih luas kepada
siapa saja yang dipandangnya memiliki ilmu dan keutamaan. Sebagaimana yang
dicontohkan oleh Imam Syafi’i –rahimahullah- dalam salah satu wasiatnya kepada
murid-muridnya, “ Jika kalian mendapati pendapat yang lebih kuat dari
pendapatku, maka itulah madzhabku”.
Jadi, saya
melihat fenomena radikalisme yang semakin hari semakin menggila awalnya adalah
akibat ulah dari para ustadz yang mengajarkan dan mendoktrin agar para pengikutnya
berpikiran sempit, lalu para pengikutnya itu beramai-ramai merekrut pengikut
baru dengan modus yang sama dengan para ustadz mereka dan bahkan telah
dimodifikasi sedemikian rupa seiring perkembangan teknologi. Sehingga dalam hal
merekrut dan memanfaatkan para pengikut yang baru mereka lebih canggih dari
para ustadz mereka sebelumnya. Tidaklah mengherankan jika PR terbesar para
petugas deradikalisasi adalah mengurai resistensi mereka terhadap pendapat dan
pemikiran di luar kelompok mereka.
Ketiga : Para
ustadz itu sebenarnya membangun pemahaman yang memiliki pondasi yang rapuh
karena tidak mengikuti metode dan tahapan mengajar tauhid yang benar.
Saya
menyaksikan beberapa bukti kegagalan pembinaan mereka pada para pengikut baru
mereka di lapas. Di antara binaan mereka itu ada yang bingung menentukan sikap
ketika dituntut untuk melaksanakan tuntutan tauhid sebagaimana pemahaman mereka
sejak berada di lapas, karena jika mengikuti petunjuk mereka, maka akan sulit
mendapat remisi atau pengurusan PB. Di samping juga dapat pengaruh dari
orang-orang di sekitarnya yang menilai apa yang diajarkan para ustadz itu
janggal dan aneh. Selain itu para pengikut yang baru itu masih takut dengan
ancaman dari petugas lapas “ kalau kamu ikut mengaji ke mereka, kamu tidak bisa
mengurus PB”. Kalupun ada yang tidak takut dengan ancaman itu, itu lebih karena
memang orang itu tidak bisa mengurus PB karena tidak punya orang yang mau jadi
penjamin PB. Ini bukti bahwa pondasi mereka lemah. Ada yang ketika di lapas
menurut mereka sudah baik tapi begitu keluar rusak lagi, tidak mampu menghadapi
pengaruh lingkungannya. Ini juga bukti kalau pondasi mereka lemah.
Para
pengikutnya itu terlihat militan karena mereka menganggap dirinya sudah benar
dan mendapat doktrin untuk menutup diri dari pendapat di luar kelompoknya serta
masih merasakan manfaat dari bergabungnya mereka dengan kelompok radikal.
Tetapi sebenarnya sekali mereka membuka diri atau mau menerima pendapat orang
lain, mereka itu bisa berubah. Sejauh pengamatan saya terhadap beberapa orang
yang bisa saya pantau perkembangannya, titik lemah atau titik awal yang bisa
menjadi pintu masuk untuk merubah pemikiran mereka adalah ketika mereka tidak
punya dukungan dari orang-orang yang sepaham dengan mereka atau pada saat
mereka sedang kecewa dengan kelompoknya karena suatu sebab. Dan pada saat yang
sama ada orang yang masuk memberi solusi bagi masalah mereka sekaligus mengajak
dialog dan menggiring pemikiran mereka agar memikirkan kembali dampak dari
“jalan perjuangan” yang mereka tempuh selama ini. Kisah titik balik saya
mungkin bisa menjadi inspirasi bagi Anda yang ingin mencoba menyadarkan
orang-orang radikal yang mungkin Anda temui di daerah Anda.
Jika kita
berhasil menyadarkan satu orang, setidaknya kita telah memutus salah satu mata
rantai penyebaran ideologi dan pemahaman radikal. Dan itu bisa sangat berarti
apabila orang yang kita sadarkan itu lalu aktif menyadarkan teman-temannya.
Jadi, jangan remehkan setiap upaya pencegahan dan penyadaran yang kita lakukan.
Karena boleh jadi Allah SWT membuatnya memiliki efek berantai pada pencegahan
dan pemberantasan paham radikal di Indonesia.
( Bersambung, In sya Allah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar