Kamis, 08 Februari 2018

Pengalaman Bersama Jihadis (2)



Pengalaman Bersama Jihadis (2)

Masih melanjutkan tentang pemahaman tauhid yang kali ini adalah tentang bagaimana para kelompok radikal itu menyikapi orang di luar kelompok mereka dengan parameter pemahaman tauhid versi mereka, dan bagaimana para ustadz mereka menjaga “loyalitas” para pengikut atau binaannya.
Saya merangkum semua cerita dan fenomena yang saya temui terkait hal ini sejak masih di tahanan kepolisian sampai ketika sudah di Lapas. Beberapa fenomena itu kadang membuat miris, hanya karena sebuah perbedaan pendapat dan sikap di antara sesama napiter tapi selalu dibawa ke arah pemahaman tauhid versi orang-orang radikal itu. Sehingga kata-kata “ si Fulan sudah murtad”, “ si Fulan itu gak benar Islamnya”, “ si Fulan itu diragukan Islamnya”, dll  itu menjadi sebuah ungkapan yang biasa bagi mereka.
Saya akan memulai dari bagaimana para ustadz mereka menjaga loyalitas para pengikutnya, termasuk pengikut baru yang mereka dapatkan di Lapas-lapas. Biar lebih mudah, saya akan menyebutkan poin demi poin.
Pertama : Fakta bahwa sebenarnya ilmu para ustadz mereka itu tidak mendalam.
Saya mendapati selama saya di penjara apa yang mereka ajarkan tentang tauhid kepada para pengikutnya dan pengikut-pengikut yang baru di Lapas-lapas, tidak pernah membahas lebih jauh dari yang sudah pernah saya dengar di rutan Mako Brimob. Padahal setelah saya teliti, ternyata apa yang mereka ajarkan itu barulah bagian awal dari kitab yang menjadi rujukan mereka dalam masalah tauhid. Bagian awal itu tentu saja sifatnya masih global, masih berupa kaidah-kaidah dasar, masih belum membahas yang lebih rinci dan belum membahas berbagai contoh kasus dari berbagai keadaan yang ditemui. Dan juga mereka tidak memperhitungkan bagaimana kondisi dan latar belakang ulama’ yang menulis kitab itu. Bukankah kondisi di mana ulama itu hidup sangat mempengaruhi pendapat-pendapatnya ?
Lalu di kemudian hari kalau pun mereka mengutip isi kitab yang sama tapi bagian dalam, yang mereka kutip itu hanyalah yang memperkuat pendapat mereka berdasarkan kaidah di awal kitab atau yang sesuai dengan arah dakwah yang mereka inginkan. Seandainya para pengikut mereka mau mengkaji kitab aslinya secara menyeluruh, mereka akan dengan mudah mengetahui kebodohan ustadz mereka.  Tapi hal  ini sulit terjadi karena mayoritas pengikut mereka adalah orang-orang yang tidak paham bahasa Arab dan secara ekonomi sulit mendapatkan kitab tersebut.
Kedua : Para ustadz itu membuat dirinya di hadapan para pengikutnya nampak lebih tinggi, lebih berilmu,lebih baik, lebih hebat, dll dengan cara menjatuhkan pribadi orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengannya. Apalagi jika yang berbeda pendapat itu sebenarnya memiliki dasar argumen yang lebih kuat dan lebih ilmiah, maka para ustadz itu akan beramai-ramai mencari aib atau cela orang tersebut dan menyebarkannya di hadapan para pengikutnya.
Setiap kali ada pengikutnya yang menyampaikan sebuah pendapat yang berbeda, terutama dalam masalah tauhid dan masalah yang dapat merugikan kelompok mereka, serta merta para ustadz itu akan menyampaikan : “ jangan mudah mengikuti pendapat orang itu, kita lihat dulu apakah dia ada cacat pada sikap dan pendapatnya yang lain”, ini berlaku kepada orang yang belum diketahui cacat atau celanya. Atau “ jangan ikuti pendapat orang yang salah dalam menghukumi dan menyikapi hal ini dan itu”, “orang yang seperti itu tidak bisa diambil pendapatnya”, dll jika mereka telah mengetahui cacat orang tersebut.
Akibatnya para pengikut mereka sulit menerima pendapat dari orang lain atau kelompok lain, dan selalu memandang rendah orang lain. Sikap para pengikutnya pun sebelas dua belas dari para ustadznya, bahkan kebanyakan lebih parah dari ustadznya. Ya, seperti kata pepatah “ guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jika ustadznya berpikiran sempit maka murid-muridnya akan berpikiran sempit juga. Ustadz yang berpikiran sempit biasanya adalah ustadz yang sombong dan tidak tulus dalam berdakwah. Dia mulai suka dengan pengikut yang banyak dan takut kehilangan pengikut sehingga dia membatasi pengikutnya dari mempelajari hal-hal di luar pemahaman kelompoknya.
 Jika dia ustadz yang ikhlas lagi tawadhu’, tentu ia akan mendorong para muridnya agar menuntut ilmu lebih luas kepada siapa saja yang dipandangnya memiliki ilmu dan keutamaan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Syafi’i –rahimahullah- dalam salah satu wasiatnya kepada murid-muridnya, “ Jika kalian mendapati pendapat yang lebih kuat dari pendapatku, maka itulah madzhabku”.
Jadi, saya melihat fenomena radikalisme yang semakin hari semakin menggila awalnya adalah akibat ulah dari para ustadz yang mengajarkan dan mendoktrin agar para pengikutnya berpikiran sempit, lalu para pengikutnya itu beramai-ramai merekrut pengikut baru dengan modus yang sama dengan para ustadz mereka dan bahkan telah dimodifikasi sedemikian rupa seiring perkembangan teknologi. Sehingga dalam hal merekrut dan memanfaatkan para pengikut yang baru mereka lebih canggih dari para ustadz mereka sebelumnya. Tidaklah mengherankan jika PR terbesar para petugas deradikalisasi adalah mengurai resistensi mereka terhadap pendapat dan pemikiran di luar kelompok mereka.
Ketiga : Para ustadz itu sebenarnya membangun pemahaman yang memiliki pondasi yang rapuh karena tidak mengikuti metode dan tahapan mengajar tauhid yang benar.
Saya menyaksikan beberapa bukti kegagalan pembinaan mereka pada para pengikut baru mereka di lapas. Di antara binaan mereka itu ada yang bingung menentukan sikap ketika dituntut untuk melaksanakan tuntutan tauhid sebagaimana pemahaman mereka sejak berada di lapas, karena jika mengikuti petunjuk mereka, maka akan sulit mendapat remisi atau pengurusan PB. Di samping juga dapat pengaruh dari orang-orang di sekitarnya yang menilai apa yang diajarkan para ustadz itu janggal dan aneh. Selain itu para pengikut yang baru itu masih takut dengan ancaman dari petugas lapas “ kalau kamu ikut mengaji ke mereka, kamu tidak bisa mengurus PB”. Kalupun ada yang tidak takut dengan ancaman itu, itu lebih karena memang orang itu tidak bisa mengurus PB karena tidak punya orang yang mau jadi penjamin PB. Ini bukti bahwa pondasi mereka lemah. Ada yang ketika di lapas menurut mereka sudah baik tapi begitu keluar rusak lagi, tidak mampu menghadapi pengaruh lingkungannya. Ini juga bukti kalau pondasi mereka lemah.
Para pengikutnya itu terlihat militan karena mereka menganggap dirinya sudah benar dan mendapat doktrin untuk menutup diri dari pendapat di luar kelompoknya serta masih merasakan manfaat dari bergabungnya mereka dengan kelompok radikal. Tetapi sebenarnya sekali mereka membuka diri atau mau menerima pendapat orang lain, mereka itu bisa berubah. Sejauh pengamatan saya terhadap beberapa orang yang bisa saya pantau perkembangannya, titik lemah atau titik awal yang bisa menjadi pintu masuk untuk merubah pemikiran mereka adalah ketika mereka tidak punya dukungan dari orang-orang yang sepaham dengan mereka atau pada saat mereka sedang kecewa dengan kelompoknya karena suatu sebab. Dan pada saat yang sama ada orang yang masuk memberi solusi bagi masalah mereka sekaligus mengajak dialog dan menggiring pemikiran mereka agar memikirkan kembali dampak dari “jalan perjuangan” yang mereka tempuh selama ini. Kisah titik balik saya mungkin bisa menjadi inspirasi bagi Anda yang ingin mencoba menyadarkan orang-orang radikal yang mungkin Anda temui di daerah Anda.
Jika kita berhasil menyadarkan satu orang, setidaknya kita telah memutus salah satu mata rantai penyebaran ideologi dan pemahaman radikal. Dan itu bisa sangat berarti apabila orang yang kita sadarkan itu lalu aktif menyadarkan teman-temannya. Jadi, jangan remehkan setiap upaya pencegahan dan penyadaran yang kita lakukan. Karena boleh jadi Allah SWT membuatnya memiliki efek berantai pada pencegahan dan pemberantasan paham radikal di Indonesia.
( Bersambung, In sya Allah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar