Mungkin Anda
sering mendengar atau bahkan pernah menyaksikan seseorang atau sekelompok orang
yang sejak mengikuti sebuah kelompok pengajian lalu berubah sikapnya
sehari-hari terhadap orang-orang di sekitarnya. Atau yang berubah sikap dan
perilakunya sejak berpenampilan syar’i atau sesuai sunnah Rasulullah SAW. Yang
tadinya ramah terhadap tetangga dan orang-orang di sekitarnya menjadi pasif dan
pendiam serta mulai terkesan tertutup dan menjaga jarak. Lama kelamaan ada yang
mulai mengkritisi kondisi di sekitarnya, mulai berani mencela adat dan
kebiasaan orang-orang di sekitarnya yang tidak sesuai dengan ilmu yang ia
pelajari dengan cara yang mencolok dan tidak simpatik.
Orang-orang
seperti itu biasanya adalah orang-orang yang baru belajar. Lambat laun seiring
bertambahnya ilmu mereka, seharusnya mereka menjadi lebih ramah, lebih
proaktif, akhlaq dan perilakunya semakin bagus,
dan bisa mendakwahkan apa yang telah mereka pelajari selama ini. Jika
semakin lama tidak ada perubahan pada sikap dan perilaku yang buruk itu, atau
justru semakin menjadi-jadi, maka hanya ada dua kemungkinan penyebabnya yaitu :
Pertama :
Orang itu memang memiliki benih-benih kesombongan dalam dirinya sehingga
semakin lama belajar dia semakin merasa lebih benar, lebih baik, lebih mulia,
dll, dan pada saat yang sama dia kurang memiliki sifat kasih sayang atau
kepedulian terhadap sesama. Yang penting dia selamat, tak peduli dengan kondisi
orang lain. Padahal Islam mengajarkan agar mengajak orang lain pada kebaikan,
mendakwahkan ajaran Islam, dan mendahulukan amar ma’ruf daripada nahi munkar.
Kedua : Orang
itu memang diajarkan untuk bersikap seperti itu oleh para ustadznya. Ustadznya
tidak pernah mengajarkan tentang akhlaq dan adab, hanya mengajarkan teori dan
idealisme. Yang artinya dia belajar pada orang yang salah atau mengikuti
kelompok yang salah.
Dan Anda
harus mulai mewaspadai dan berhati-hati pada orang yang seperti itu. Bukan
untuk dijauhi, tapi cobalah untuk menelusuri lebih jauh kemana dia belajar ilmu
agamanya, kepada siapa dia belajar, dan siapa saja teman-teman atau orang-orang
dalam kelompoknya. Jika misalnya Anda menemukan beberapa orang dalam
kelompoknya tapi perilakunya baik, berarti yang bermsalah adalah orangnya.
Tetapi jika Anda mendapati ustadznya dan orang-orang dalam kelompoknya
mempunyai sikap yang sama, berarti memang itulah yang diajarkan dalam
kelompoknya, dan Anda harus segera memberitahu orang-orang di sekitar Anda akan
fakta yang Anda temukan itu.
Jadi, kita
harus proaktif untuk menyelidiki lebih jauh jika menemukan orang-orang seperti
itu. Jika orangnya adalah pendatang, cobalah untuk proaktif mengajaknya
mengobrol tentang hal-hal yang umum dan menanyakan bagaimana pandangannya dalam
masalah sehari-hari. Dari situ Anda akan mengetahui bagaimana sikap dan jalan
pikirannya. Ketika ada yang aneh atau janggal, segera bicarakan dengan warga
sekitar agar semua terlibat aktif untuk mempelajari kehidupan sehari-hari orang
itu. Ingat, mencegah itu lebih baik daripada mengobati.
Saya perlu
menyebutkan hal di atas karena fenomena itu umum terjadi di masyarakat kita.
Dan saya melihat kebanyakan dari kita salah dalam menyikapi orang yang seperti
itu. Kebanyakan dari kita malah menjauhi orang seperti itu karena berangkat
dari tidak suka pada sikapnya. Semakin mereka dijauhi mereka semakin merasa
eksklusif, semakin merasa yang mengerti mereka hanya orang-orang di
kelompoknya. Saya punya sebuah cerita tentang seseorang yang sehari-hari suka
“berfatwa” kepada para tetangganya itu bid’ah, ini bid’ah,dll dan menjaga jarak
dari para tetangganya. Tetapi ketika dia sedang sakit dan dirawat di rumah sakit
yang paling banyak membesuknya adalah para tetangganya yang setiap hari dia
bid’ah-bid’ahkan itu. Akhirnya setelah itu perlahan-lahan ia berubah menjadi
ramah dan bersikap lemah lembut kepada para tetangganya. Bagi saya ini sebuah
pelajaran bahwa ternyata jika kita menyikapinya dengan benar orang yang
eksklusif itu bisa berubah, namun jika kita salah boleh jadi orang itu akan
semakin menjadi-jadi.
Baiklah, kita
kembali ke topik tentang fenomena yang saya temui dalam kelompok radikal. Kali
ini saya akan menyampaikan tentang beberapa penyimpangan dalam sikap yang
menurut mereka adalah sikap yang benar berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan
Hadits Nabi SAW. Salah satunya adalah sikap eksklusif dan menutup diri dari
orang-orang yang tidak sepaham di sekitarnya seperti yang saya sebutkan di
atas. Namun saya mendapati orang-orang radikal itu adalah yang paling keras di
antara yang pernah saya temui sebelumnya.
Saya pun
mencoba meneliti dan mencari tahu apa yang menyebabkan mereka bisa seperti itu.
Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya selama ini, saya mendapati setidaknya
ada dua faktor atau alasan utama yang membuat mereka bersikap eksklusif,
menutup diri, dan menjauhi orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Dua hal ini masing-masing mempunyai dasar argumen yang
sebenarnya benar, tapi mereka salah dalam memahaminya dan mengamalkannya.
Pertama :
Merasa paling
benar dengan mengemukakan hadits-hadits terutama hadits tentang akhir zaman
yang sesuai dengan realita mereka.
Orang-orang
radikal para pendukung ISIS selalu menghubungkan dan menganggap apa yang sedang
mereka lakukan dan yang sedang mereka hadapi dengan hadits-hadits tentang akhir
zaman yang seringkali mereka kutip tidak utuh/lengkap. Misalnya hadits-hadits
tentang akan hadirnya kembali periode khilafah
‘ala minhajin nubuwwah yang mereka klaim telah mulai terwujud dengan adanya
daulah/khilafah ISIS, atau hadits tentang peperangan besar antara kaum muslimin
dengan orang-orang kafir yang mereka klaim perang itu sudah dimulai, atau yang
paling banyak mereka kutip untuk merekrut orang agar segera berhijrah adalah
hadits tentang keutamaan bumi Syam di akhir zaman.
Dalam
menyikapi akhir zaman sendiri, ada yang mengingkarinya dan ada pula yang
terlalu gegabah dalam mencocokkannya dengan hadits. Padahal untuk memahami
akhir zaman dengan benar, perlu ada kaidah yang perlu dipahami agar kita tidak
tergelincir dalam pemahaman yang salah.
Di antara
sebab ketergelinciran mereka dalam memahami hadits-hadits akhir zaman adalah
terlalu cepat mencocokkan realita dengan hadits tanpa adanya kajian yang
mendalam. Melihat satu kecocokan antara keduanya, kemudian langsung menghukumi
bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah realita tersebut.
Sebagai
contoh, saat Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti umat
beliau akan terpecah menjadi 73 golongan. Kemudian sebagian pihak, tanpa kajian
yang komprehensif dan mendalam terhadap hadits dan realita, langsung menghukumi
bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah terkotak-kotaknya umat Islam
dalam harokah ormas dan kelompok. Seolah lupa bahwa berkumpulnya umat dalam
satu mazhab atau dalam satu amal Islami tidaklah bisa mengeluarkan mereka dari
Firqoh Najiyah (golongan yang selamat).
Selain itu
mereka juga seringkali melupakan atau mengabaikan urutan-urutan peristiwa yang
mengiringi sebuah realita akhir zaman. Untuk sampai pada pemahaman yang benar
dalam menyikapi nash-nash akhir zaman, maka harus melihat urutan-urutan yang
disebutkan di dalam hadits. Sebagai contoh, antara peristiwa-peristiwa akhir
zaman ada kembalinya khilafah ala minhajin nubuwwah, munculya imam Mahdi,
keluarnya Dajjal, Turunnya Isa, penaklukan Roma, perang Malhamah Kubro. Agar
memiliki pemahaman yang utuh terhadap tragedi akhir zaman, ulama harus
berijtihad untuk menyusun urutan-urutan dari kejadian tersebut. Yaitu dengan
mengumpulkan semua riwayat yang shohih dan merujuk kepada pendapat para salaf
dalam mengurutkannya.
Hal ini
menjadi mendasar, karena jangan sampai seseorang mengkaji kecocokan sebuah
hadits akhir zaman dengan realita, sementara fase sebelumnya belum terjadi.
Sebagai contoh, di masa lalau ekspansi kerajaan Mongol ke negeri kaum muslimin
menimbulkan kerusakan yang begitu besar dan di saat yang sama bangsa Mongol
memiliki ciri-ciri yang sama dengan ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj. Melihat
kerusakan yang ditimbulkan dan ciri fisik yang sama kemudian sebagian orang
berpendapat bahwa merekalah Ya’juj dan Ma’juj. Padahal, fase-fase sebelum keluarnya
Ya’juj dan Ma’juj belum terjadi.
Berdasarkan
pemikiran dan pemahaman -yang tidak utuh- terhadap hadits-hadits akhir zaman itu mereka
lalu merasa lebih istimewa dari orang-orang di luar kelompoknya, kemudian
memandang rendah terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Inilah awal mula
mereka menjadi eksklusif. Dan jika para ustadz mereka selalu mendoktrin bahwa
itulah yang benar maka akan semakin sulit untuk merubahnya.
Kedua :
Mereka
menjauhi orang-orang yang berbuat bid’ah (yang mereka sempitkan maknanya dengan
setiap orang yang tidak sepaham dan menentang pendapat kelompoknya) berdasarkan
sikap yang diambil oleh Rasulullah SAW kepada tiga orang sahabatnya yang
tertinggal dari mengikuti Perang Tabuk.
Kisah tentang
tiga orang yang tertinggal dari Perang Tabuk itu di kalangan penuntut ilmu
lebih dikenal dengan hadits Ka’ab bin Malik RA. Sebuah hadits yang sangat
panjang yang menjelaskan asbabun nuzul
( sebab turunnya ayat Al Qur’an ) surah At Taubah ayat 118. Hadits itu terdapat
dalam Shahih Bukhari hadits no. 4066. Saya kutipkan teks terjemahan hadits
tersebut (dalam riwayat Bukhari) sampai pada turunnya ayat surah At Taubah 118
:
[[[Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin
Bukair] Telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari ['Uqail] dari [Ibnu
Syihab] dari ['Abdur Rahman bin 'Abdullah bin Ka'ab bin Malik] bahwa ['Abdullah
bin Ka'ab bin Malik] -Abdullah bin Ka'ab adalah salah seorang putra Ka'ab yang
mendampingi Ka'ab ketika ia buta- berkata; 'Saya pernah mendengar [Ka'ab bin
Malik] menceritakan peristiwa tentang dirinya ketika ia tertinggal dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam perang Tabuk.' Ka'ab bin Malik
berkata; 'Saya tidak pernah tertinggal menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dalam peperangan yang beliau ikuti kecuali perang Tabuk, akan tetapi
saya juga pernah tertinggal dalam perang Badar. Hanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tidak pernah mencela seorang muslim yang tidak turut dalam
perang Badar. Yang demikian karena pada awal mulanya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dan kaum muslimin hanya ingin mencegat kaum kafir Quraisy yang
sedang berada dalam perjalanan dengan mengendarai unta hingga Allah
mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu yang di sepakati
sebelumnya. Saat itu saya ikut serta bersama Rasulullah pada malam Aqabah
ketika kami berjanji untuk membela Islam. Menurut saya, turut serta dalam
perang Badar tidak sebanding dengan turut serta dalam malam Aqabah, meskipun
perang Badar lebih populer kebanyakan orang. Di antara cerita ketika saya tidak
turut serta bersama Rasulullah dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut;
'Belum pernah stamina saya betul-betul fit dan mempunyai keluasan harta
daripada ketika saya tidak ikut serta dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah,
sebelumnya saya tidak menyiapkan dua ekor hewan tunggangan sama sekali dalam
pelbagai peperangan. Tetapi dalam perang Tabuk ini, saya bisa menyiapkan dua
ekor hewan tunggangan. Adalah sudah menjadi tradisi beliau Shallallahu'alaihiwasallam,
beliau tidak pernah melakukan sebuah peperangan selain beliau merahasiakan
tujuan peperangannya, hingga saat terjadilah perang tabuk ini, yang beliau
nyatakan tujuan perangnya secara terang-terangan. Akhirnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pergi berangkat ke perang Tabuk pada saat cuaca
sangat panas. Dapat di katakan bahwasanya beliau menempuh perjalanan yang amat
jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh yang berjumlah besar. Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa
yang akan mereka hadapi bersamanya. Oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum
muslimin untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum
muslimin yang menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak sekali
tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang. Ka'ab berkata; 'Ada seorang
laki-laki yang tidak muncul karena ia ingin tidak turut serta berperang. Ia
menduga bahwa ketidak turutannya itu tidak akan di ketahui oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam -selama tidak ada wahyu yang turun mengenai dirinya dari Allah
Azza Wa Jalla -. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi berperang ke
perang tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, hingga saya harus
memalingkan perhatian dari hasil panen tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dan kaum muslimin yang ikut serta sudah bersiap-siap dan saya pun
segera pergi untuk mencari perbekalan bersama mereka. Lalu saya pulang tanpa
memperoleh perbekalan sama sekali. Saya berkata dalam hati; 'Ahh, saya dapat
mempersiapkan perbekalan sewaktu-waktu. Saya selalu dalam teka-teki antara iya
(berangkat) dan tidak hingga orang-orang semakin siap.' Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam berangkat bersama kaum muslimin, sedangkan saya belum
mempersiapkan perbekalan sama sekali. Akhirnya saya pergi, lalu saya pulang
tanpa mempersiapkan sesuatu. Saya senantiasa berada dalam kebimbangan seperti
itu antara turut serta berperang ataupun tidak, hingga pasukan kaum muslimin
telah bergegas berangkat dan perang pun berkecamuk sudah. Kemudian saya ingin
menyusul ke medan pertempuran -tetapi hal itu hanyalah angan-angan belaka- dan
akhirnya saya ditakdirkan untuk tidak ikut serta ke medan perang. Setelah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi ke medan perang tabuk, maka
mulailah rasa sedih menyelimuti diri saya. Ketika keluar ke tengah-tengah
masyarakat sekitar. Saya menyadari bahwasanya tidak ada yang dapat saya temui
kecuali orang-orang yang dalam kemunafikan atau orang-orang yang lemah yang
diberikan uzur oleh Allah Azza Wa Jalla. Sementara itu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tidak mengingat diri saya hingga beliau sampai di Tabuk.
Kemudian, ketika beliau sedang duduk-duduk di tengah para sahabat, tiba-tiba
beliau bertanya; 'Mengapa Ka'ab bin Malik tidak ikut serta bersama kita? '
Seorang sahabat dari Bani Salimah menjawab; 'Ya Rasulullah, sepertinya Ka'ab
bin Malik lebih mementingkan dirinya sendiri daripada perjuangan ini? '
Mendengar ucapan sahabat tersebut, Muadz bin Jabal berkata; 'Hai sahabat, buruk
sekali ucapanmu itu! Demi Allah ya Rasulullah, saya tahu bahwasanya Ka'ab bin
Malik itu adalah orang yang baik.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam diam. Ketika beliau terdiam seperti itu, tiba-tiba beliau melihat seorang
laki-laki yang memakai helm besi yang sulit di kenali. Lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Kamu pasti Abu Khaitsamah? ' Ternyata
orang tersebut adalah memang benar-benar Abu Khaitsamah Al Anshari, sahabat
yang pernah menyedekahkan satu sha' kurma ketika ia dicaci maki oleh
orang-orang munafik. Ka'ab bin Malik berkata; 'Ketika saya mendengar bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersiap-siap kembali dari perang
Tabuk, maka saya pun diliputi kesedihan. Lalu saya mulai merancang alasan untuk
berdusta. Saya berkata dalam hati; 'Alasan apa yang dapat menyelamatkan diri
saya dari amarah Rasulullah? ' Untuk menghadapi hal tersebut, saya meminta
pertolongan kepada keluarga yang dapat memberikan saran. Ketika ada seseorang
yang berkata kepada saya bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
hampir tiba di kota Madinah, hilanglah alasan untuk berdusta dari benak saya.
Akhirnya saya menyadari bahwasanya saya tidak dapat berbohong sedikit pun
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, saya pun harus
berkata jujur kepada beliau. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tiba di kota Madinah. Seperti biasa, beliau langsung menuju Masjid -
sebagaimana tradisi beliau manakala tiba dari bepergian ke suatu daerah - untuk
melakukan shalat. Setelah melakukan shalat sunnah, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam langsung bercengkrama bersama para sahabat. Setelah itu,
datanglah beberapa orang sahabat yang tidak sempat ikut serta bertempur bersama
kaum muslimin seraya menyampaikan berbagai alasan kepada beliau dengan
bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak turut serta bertempur itu sekitar
delapan puluh orang lebih. Ternyata Rasulullah menerima keterus terangan mereka
yang tidak ikut serta berperang, membai'at mereka, memohon ampun untuk mereka,
dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah.
Selang beberapa saat kemudian, saya datang menemui Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Setelah saya memberi salam, beliau tersenyum seperti senyuman
orang yang marah. Kemudian beliau pun berkata; 'Kemarilah! ' Lalu saya berjalan
mendekati beliau hingga saya duduk tepat di hadapan beliau. Setelah itu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: 'Mengapa kamu tidak ikut
serta bertempur bersama kami hai Ka'ab? Bukankah kamu telah berjanji untuk
menyerahkan jiwa ragamu untuk Islam? ' Saya menjawab; 'Ya Rasulullah, demi
Allah seandainya saya duduk di dekat orang selain diri engkau, niscaya saya
yakin bahwasanya saya akan terbebaskan dari kemurkaannya karena alasan dan
argumentasi yang saya sampaikan. Tetapi, demi Allah, saya tahu jika sekarang
saya menyampaikan kepada engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat engkau
tidak marah, tentunya Allah lah yang membuat engkau marah kepada saya. Apabila
saya mengemukakan kepada engkau ya Rasulullah alasan saya yang benar dan jujur,
lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan tersebut, maka saya pun akan
menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberi hukuman kepada saya dengan
ucapan saya yang jujur tersebut. Demi Allah, sesungguhya tidak ada uzur yang
membuat saya tidak ikut serta berperang. Demi Allah, saya tidak berdaya sama
sekali kala itu meskipun saya mempunyai peluang yang sangat longgar sekali
untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.' Mendengar pengakuan yang tulus itu,
Rasulullah pun berkata: 'Orang ini telah berkata jujur dan benar. Oleh karena
itu, berdirilah hingga Allah memberimu keputusan." Akhirnya saya pun
berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Tak lama kemudian, ada beberapa orang
dari Bani Salimah beramai-ramai mengikuti saya seraya berkata; 'Hai Ka'ab, demi
Allah, sebelumnya kami tidak mengetahui bahwasanya kamu telah berbuat suatu
kesalahan/dosa. Kamu benar-benar tidak mengemukakan alasan kepada Rasulullah
sebagaimana alasan yang dikemukakan para sahabat lain yang tidak turut
berperang. Sesungguhnya, hanya istighfar Rasulullah untukmulah yang menghapus
dosamu.' Ka'ab bin Malik berkata setelah itu; 'Demi Allah, mereka selalu
mencerca saya hingga saya ingin kembali lagi kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam lalu saya dustakan diri saya.' Ka'ab bin Malik berkata;
'Apakah ada orang lain yang telah menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam seperti diri saya ini? ' Orang-orang Bani Salimah menjawab; 'Ya. Ada
dua orang lagi seperti dirimu. Kedua orang tersebut mengatakan kepada
Rasulullah seperti apa yang telah kamu utarakan dan Rasulullah pun menjawabnya
seperti jawaban kepadamu.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Lalu saya pun bertanya;
'Siapakah kedua orang tersebut hai para sahabat? ' Mereka, kaum Bani Salimah,
menjawab; 'Kedua orang tersebut adalah Murarah bin Rabi'ah Al Amin dan Hilal
bin Ummayah Al Waqifi.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Kemudian mereka menyebutkan
dua orang sahabat yang shalih yang ikut serta dalam perang Badar dan keduanya
layak dijadikan suri tauladan yang baik. Setelah itu, saya pun berlalu ketika
mereka menyebutkan dua orang tersebut kepada saya.' Ka'ab bin Malik berkata;
'Beberapa hari kemudian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kaum
muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut serta dalam perang
Tabuk. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai menjauhi dan berubah sikap terhadap
kami bertiga hingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya, bumi ini bukanlah
bumi yang pernah saya huni sebelumnya dan hal itu berlangsung lima puluh malam
lamanya.' Dua orang teman saya yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu
kini bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis, sedangkan saya adalah seorang
anak muda yang tangguh dan tegar. Saya tetap bersikap wajar dan menjalankan
aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Saya tetap keluar dari rumah, pergi ke
masjid untuk menghadiri shalat jama'ah bersama kaum muslimin lainnya, dan
berjalan-jalan di pasar meskipun tidak ada seorang pun yang sudi berbicara
dengan saya. Hingga pada suatu ketika saya menghampiri Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sambil memberikan salam kepadanya ketika beliau berada di
tempat duduknya usai shalat. Saya bertanya dalam hati; 'Apakah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam
ataukah tidak? Kemudian saya melaksanakan shalat di dekat Rasulullah sambil
mencuri pandangan kepada beliau. Ketika saya telah bersiap untuk melaksanakan
shalat, beliau memandang kepada saya. Dan ketika saya menoleh kepadanya,
beliaupun mengalihkan pandangannya dari saya.' Setelah lama terisolisir dari
pergaulan kaum muslimin, saya pun pergi berjalan-jalan hingga sampai di pagar
kebun Abu Qatadah. Abu Qatadah adalah putera paman saya (sepupu saya) dan ia
adalah orang yang saya sukai. Sesampainya di sana, saya pun mengucapkan salam
kepadanya. Tetapi, demi Allah, sama sekali ia tidak menjawab salam saya.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya; 'Hai Abu Qatadah, saya
bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu tidak mengetahui bahwasanya
saya sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya? ' Ternyata Abu Qatadah hanya terdiam
saja. Lalu saya ulangi lagi ucapan saya dengan bersumpah seperti yang pertama
kali. Namun ia tetap saja terdiam. Kemudian saya ulangi ucapan saya dan ia pun
menjawab; 'Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui tentang hal ini.'
Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mata saya dan saya pun kembali ke
rumah sambil menyusuri kebun tersebut. Ketika saya sedang berjalan-jalan di
pasar Madinah, ada seorang laki-laki dari negeri Syam yang berjualan makanan di
kota Madinah bertanya; 'Siapakah yang dapat menunjukkan kepada saya di mana
Ka'ab bin Malik? ' Lalu orang-orang pun menunjukkan kepada saya hingga orang
tersebut datang kepada saya sambil menyerahkan sepucuk surat kepada saya dari
raja Ghassan. Karena saya dapat membaca dan menulis, maka saya pun memahami isi
surat tersebut. Ternyata isi surat tersebut sebagai berikut; 'Kami mendengar
bahwasanya temanmu (maksudnya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam)
telah mengisolirmu dari pergaulan umum, sementara Tuhanmu sendiri tidaklah
menyia-nyiakanmu seperti itu. Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami,
niscaya kami akan menolongmu.' Selesai membaca surat itu, saya pun berkata;
'Sebenarnya surat ini juga merupakan sebuah bencana bagi saya.' Lalu saya
memasukkannya ke dalam pembakaran dan membakarnya hingga musnah. Setelah empat
puluh hari lamanya dari pengucilan umum, ternyata wahyu Tuhan pun tidak juga
turun. Hingga pada suatu ketika, seorang utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mendatangi saya sambil menyampaikan sebuah pesan; 'Hai Ka'ab,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanmu untuk
menghindari istrimu.' Saya bertanya; 'Apakah saya harus menceraikan atau
bagaimana? ' Utusan tersebut menjawab; 'Tidak usah kamu ceraikan. Tetapi,
cukuplah kamu menghindarinya dan janganlah kamu mendekatinya.' Lalu saya
katakan kepada istri saya; 'Wahai istriku, sebaiknya engkau pulang terlebih
dahulu ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama dengan mereka hingga Allah
memberikan keputusan yang jelas dalam permasalahan ini.' Ka'ab bin Malik
berkata; 'Tak lama kemudian istri Hilal bin Umayyah pergi mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam sambil bertanya; 'Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah
itu sudah lanjut usia dan lemah serta tidak mempunyai pembantu. Oleh karena
itu, izinkanlah saya merawatnya.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun
menjawab: 'Jangan. Sebaiknya kamu tidak usah menemaninya terlebih dahulu dan ia
tidak boleh dekat denganmu untuk beberapa saat.' Isteri Hilal tetap bersikeras
dan berkata; 'Demi Allah ya Rasullah, sekarang ia itu tidak mempunyai semangat
hidup lagi. Ia senantiasa menangis, sejak mendapatkan permasalahan ini sampai
sekarang.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Beberapa orang dari keluarga saya berkata;
'Sebaiknya kamu meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah dalam masalah
istrimu ini. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah
memberikan izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.' Ka'ab
bin Malik berkata; 'Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dalam persoalan istri saya ini. Karena, bagaimanapun, saya
tidak akan tahu bagaimana jawaban Rasulullah nanti jika saya meminta izin
kepada beliau sedangkan saya masih muda belia.' Ka'ab bin Malik berkata;
'Ternyata hal itu berlangsung selama sepuluh malam hingga dengan demikian
lengkaplah sudah lima puluh malam bagi kami terhitung sejak kaum muslimin
dilarang untuk berbicara kepada kami. Ka'ab bin Malik berkata; 'Lalu saya
melakukan shalat fajar pada malam yang ke lima puluh di bagian belakang rumah.
Ketika saya sedang duduk dalam shalat tersebut, diri saya diliputi penyesalan dan
kesedihan. Sepertinya bumi yang luas ini terasa sempit bagi diri saya.
Tiba-tiba saya mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya menembus
cakrawala; 'Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah! ' Maka saya pun tersungkur
sujud dan mengetahui bahwasanya saya telah terbebas dari persoalan saya. Ka'ab
bin Malik berkata; 'Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengumumkan kepada kaum muslimin usai shalat Shubuh bahwasanya Allah SWT telah
berfirman...]]]
Dalam hadits
itu Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengucilkan tiga orang itu sebab
tertinggalnya mereka dari mengikuti Perang Tabuk tanpa udzur yang dapat
dibenarkan. Pengucilan itu atas perintah Rasulullah SAW sampai Allah SWT
menurunkan wahyu dalam perkara itu. Kisah dalam hadits itu memang syarat akan
pelajaran tentang kejujuran dan tekad yang tulus dalam taubat. Imam Nawawi –rahimahullah- memasukkan hadits ini di
dalam kitabnya yang monumental “ Riyadhus Shalihin” dalam bab Taubat.
Tetapi saya
menemui orang-orang yang berpikiran sempit yang menjadikan hadits di atas
sebagai pembenaran dari sikap mereka menjauhi orang-orang yang tidak sepaham
dengan mereka. Mereka beralasan bahwa dalam hadits itu Rasulullah SAW dan para
sahabatnya mengucilkan tiga orang yang “hanya” bermaksiat dalam satu perkara
yaitu tidak mengikuti Perang Tabuk yang telah diwajibkan oleh Rasulullah SAW
kepada semua kaum muslimin yang tidak memiliki udzur pada waktu itu. Lalu
bagaimana dengan orang yang tauhidnya cacat atau sehari-hari banyak melakukan
bid’ah dalam ibadahnya ? Begitulah pemikiran mereka.
Mereka
melupakan bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya itu
dilakukan ketika Islam telah memiliki “kekuasaan”, kemudian atas perintah
Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi ummat Islam, dilakukan oleh semua
kaum muslimin, dan berlaku untuk kondisi saat itu. Artinya, kaum muslimin boleh
melakukan sebagaimana dalam hadits itu apabila setidaknya terpenuhi dua syarat
yaitu : ummat Islam sedang berkuasa (memiliki kekuasaan), dan atas perintah
pemimpin kaum muslimin. Dia tidak bisa melakukannya sendiri dan berdasarkan
pendapat pribadinya.
Sebenarnya
sangat mengherankan jika kita mau
berpikir lebih dalam. Pada kisah yang terdapat dalam hadits Ka’ab bin Malik RA
di atas yang terjadi adalah seluruh kaum muslimin memboikot atau mengucilkan
tiga orang yang bersalah. Sedangkan yang terjadi pada sekelompok orang
berpikiran sempit itu adalah sebaliknya, mereka yang –jumlahnya sangat kecil- mengasingkan
diri dari kaum muslimin. Bukankah demikian ? ISIS mendeklarasikan khilafah yang
konon bagi seluruh kaum muslimin tapi pada prakteknya mereka mudah mengkafirkan
atau setidaknya mengecam dan mencela kelompok-kelompok yang tidak mau bergabung
atau berbaiat kepada mereka. Bukankah ini aneh ?
Ketika orang
yang baru belajar sedikit tentang Islam menjadikan hadits ini sebagai alasan
atas sikapnya menjauhi orang-orang yang menurutnya ahli bid’ah atau tauhidnya
nggak benar, tentu akan merugikan banyak pihak termasuk dirinya sendiri. Orang
seperti ini tidak memahami bahwa ada perbuatan-perbuatan baik yang masih harus
dilakukan kepada sesama, bahkan Islam juga mengajarkan bagaimana adab dan
akhlaq terhadap musuh. Betapa banyak terjadi di masa lalu panglima perang atau
pemimpin kelompok di sebuah negeri yang sedang berperang menghadapi pasukan
Islam membelot kepada pihak pasukan Islam karena terkesan dengan akhlaq para
pasukan Islam.
Bukankah
seharusnya ketika seseorang merasa lebih berilmu, ia memandang orang-orang yang
belum mengetahui sebagaimana yang ia ketahui dengan pandangan kasih sayang,
atau seperti pandangan seorang dokter kepada pasiennya. Yaitu justru mendekatinya,
menasehatinya, dan mengobatinya. Bukan dengan seperti pandangan seorang hakim yang hanya bisa
memvonis ini salah, itu salah, ini bid’ah itu sesat, dsb, tanpa melakukan upaya
perbaikan pada orang yang ia vonis itu. Bukankah dakwah adalah kewajiban setiap
muslim ?
Betapa banyak
di sekitar kita orang yang pandai memvonis tetapi tidak tahu cara
memperbaikinya. Betapa banyak di sekitar kita orang yang pandai mencela keadaan
tetapi tidak tahu solusi untuk memperbaiki keadaan itu, atau bahkan banyak yang
tidak mau berusaha menemukan solusinya. Saya yakin untuk fenomena yang ini, di
luar pendukung ISIS pun banyak terjadi.
Dan saya
mengajak agar kita semua berusaha menyikapi orang-orang seperti itu dengan benar, dengan tetap berbuat baik
kepada mereka, dan saling mengingatkan dengan bijak. Jika mereka menolak pun
kita tidak boleh berputus asa, karena itu adalah kewajiban kita, dan tetaplah
berbuat baik sambil terus berdoa kepada Allah SWT agar mereka ditunjuki kepada
jalan yang benar.
Saya cukupkan
sampai di sini serial “ Pengalaman Bersama Jihadis”. Saya rasa sudah cukup
uraian saya tentang fenomena seputar radikalisme di Indonesia dari sudut
pandang dan pengalaman seorang mantan napiter. Semoga setelah mengetahui semua
ini, Anda menjadi semakin bersemangat atau tergugah untuk ikut bersama-sama
mencegah radikalisme dan memutus rantai radikalisme di Indonesia yang kita
cintai ini. Karena radikalisme yang mengatasnamakan ajaran agama adalah musuh
kita semua.
Mencegah
penyebaran radikalisme ini bukan hanya tugas para ulama atau aparat pemerintah,
tetapi tugas kita semua. Jika kita tidak peduli dan cenderung membiarkan
orang-orang yang mulai terpapar paham radikal, maka sedikit atau banyak kita
punya andil kesalahan dalam tersebarnya paham radikal di negeri kita ini.
Setidak-tidaknya kita harus aktif membentengi generasi muda kita dari paham
radikal dengan memberikan pendidikan agama yang cukup dan mengajarkan tentang
bagaimana memahami kondisi yang sedang terjadi, agar tidak mudah terprovokasi
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar