Selasa, 20 Februari 2018

Pengalaman Bersama Jihadis (6-Habis)




Mungkin Anda sering mendengar atau bahkan pernah menyaksikan seseorang atau sekelompok orang yang sejak mengikuti sebuah kelompok pengajian lalu berubah sikapnya sehari-hari terhadap orang-orang di sekitarnya. Atau yang berubah sikap dan perilakunya sejak berpenampilan syar’i atau sesuai sunnah Rasulullah SAW. Yang tadinya ramah terhadap tetangga dan orang-orang di sekitarnya menjadi pasif dan pendiam serta mulai terkesan tertutup dan menjaga jarak. Lama kelamaan ada yang mulai mengkritisi kondisi di sekitarnya, mulai berani mencela adat dan kebiasaan orang-orang di sekitarnya yang tidak sesuai dengan ilmu yang ia pelajari dengan cara yang mencolok dan tidak simpatik.
Orang-orang seperti itu biasanya adalah orang-orang yang baru belajar. Lambat laun seiring bertambahnya ilmu mereka, seharusnya mereka menjadi lebih ramah, lebih proaktif, akhlaq dan perilakunya semakin bagus,  dan bisa mendakwahkan apa yang telah mereka pelajari selama ini. Jika semakin lama tidak ada perubahan pada sikap dan perilaku yang buruk itu, atau justru semakin menjadi-jadi, maka hanya ada dua kemungkinan penyebabnya yaitu :
Pertama : Orang itu memang memiliki benih-benih kesombongan dalam dirinya sehingga semakin lama belajar dia semakin merasa lebih benar, lebih baik, lebih mulia, dll, dan pada saat yang sama dia kurang memiliki sifat kasih sayang atau kepedulian terhadap sesama. Yang penting dia selamat, tak peduli dengan kondisi orang lain. Padahal Islam mengajarkan agar mengajak orang lain pada kebaikan, mendakwahkan ajaran Islam, dan mendahulukan amar ma’ruf daripada nahi munkar.
Kedua : Orang itu memang diajarkan untuk bersikap seperti itu oleh para ustadznya. Ustadznya tidak pernah mengajarkan tentang akhlaq dan adab, hanya mengajarkan teori dan idealisme. Yang artinya dia belajar pada orang yang salah atau mengikuti kelompok yang salah.
Dan Anda harus mulai mewaspadai dan berhati-hati pada orang yang seperti itu. Bukan untuk dijauhi, tapi cobalah untuk menelusuri lebih jauh kemana dia belajar ilmu agamanya, kepada siapa dia belajar, dan siapa saja teman-teman atau orang-orang dalam kelompoknya. Jika misalnya Anda menemukan beberapa orang dalam kelompoknya tapi perilakunya baik, berarti yang bermsalah adalah orangnya. Tetapi jika Anda mendapati ustadznya dan orang-orang dalam kelompoknya mempunyai sikap yang sama, berarti memang itulah yang diajarkan dalam kelompoknya, dan Anda harus segera memberitahu orang-orang di sekitar Anda akan fakta yang Anda temukan itu.
Jadi, kita harus proaktif untuk menyelidiki lebih jauh jika menemukan orang-orang seperti itu. Jika orangnya adalah pendatang, cobalah untuk proaktif mengajaknya mengobrol tentang hal-hal yang umum dan menanyakan bagaimana pandangannya dalam masalah sehari-hari. Dari situ Anda akan mengetahui bagaimana sikap dan jalan pikirannya. Ketika ada yang aneh atau janggal, segera bicarakan dengan warga sekitar agar semua terlibat aktif untuk mempelajari kehidupan sehari-hari orang itu. Ingat, mencegah itu lebih baik daripada mengobati.
Saya perlu menyebutkan hal di atas karena fenomena itu umum terjadi di masyarakat kita. Dan saya melihat kebanyakan dari kita salah dalam menyikapi orang yang seperti itu. Kebanyakan dari kita malah menjauhi orang seperti itu karena berangkat dari tidak suka pada sikapnya. Semakin mereka dijauhi mereka semakin merasa eksklusif, semakin merasa yang mengerti mereka hanya orang-orang di kelompoknya. Saya punya sebuah cerita tentang seseorang yang sehari-hari suka “berfatwa” kepada para tetangganya itu bid’ah, ini bid’ah,dll dan menjaga jarak dari para tetangganya. Tetapi ketika dia sedang sakit dan dirawat di rumah sakit yang paling banyak membesuknya adalah para tetangganya yang setiap hari dia bid’ah-bid’ahkan itu. Akhirnya setelah itu perlahan-lahan ia berubah menjadi ramah dan bersikap lemah lembut kepada para tetangganya. Bagi saya ini sebuah pelajaran bahwa ternyata jika kita menyikapinya dengan benar orang yang eksklusif itu bisa berubah, namun jika kita salah boleh jadi orang itu akan semakin menjadi-jadi.
Baiklah, kita kembali ke topik tentang fenomena yang saya temui dalam kelompok radikal. Kali ini saya akan menyampaikan tentang beberapa penyimpangan dalam sikap yang menurut mereka adalah sikap yang benar berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Salah satunya adalah sikap eksklusif dan menutup diri dari orang-orang yang tidak sepaham di sekitarnya seperti yang saya sebutkan di atas. Namun saya mendapati orang-orang radikal itu adalah yang paling keras di antara yang pernah saya temui sebelumnya.
Saya pun mencoba meneliti dan mencari tahu apa yang menyebabkan mereka bisa seperti itu. Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya selama ini, saya mendapati setidaknya ada dua faktor atau alasan utama yang membuat mereka bersikap eksklusif, menutup diri, dan menjauhi orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya.  Dua hal  ini masing-masing mempunyai dasar argumen yang sebenarnya benar, tapi mereka salah dalam memahaminya dan mengamalkannya.
Pertama :
Merasa paling benar dengan mengemukakan hadits-hadits terutama hadits tentang akhir zaman yang sesuai dengan realita mereka.
Orang-orang radikal para pendukung ISIS selalu menghubungkan dan menganggap apa yang sedang mereka lakukan dan yang sedang mereka hadapi dengan hadits-hadits tentang akhir zaman yang seringkali mereka kutip tidak utuh/lengkap. Misalnya hadits-hadits tentang akan hadirnya kembali periode khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang mereka klaim telah mulai terwujud dengan adanya daulah/khilafah ISIS, atau hadits tentang peperangan besar antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir yang mereka klaim perang itu sudah dimulai, atau yang paling banyak mereka kutip untuk merekrut orang agar segera berhijrah adalah hadits tentang keutamaan bumi Syam di akhir zaman.
Dalam menyikapi akhir zaman sendiri, ada yang mengingkarinya dan ada pula yang terlalu gegabah dalam mencocokkannya dengan hadits. Padahal untuk memahami akhir zaman dengan benar, perlu ada kaidah yang perlu dipahami agar kita tidak tergelincir dalam pemahaman yang salah.
Di antara sebab ketergelinciran mereka dalam memahami hadits-hadits akhir zaman adalah terlalu cepat mencocokkan realita dengan hadits tanpa adanya kajian yang mendalam. Melihat satu kecocokan antara keduanya, kemudian langsung menghukumi bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah realita tersebut.
Sebagai contoh, saat Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti umat beliau akan terpecah menjadi 73 golongan. Kemudian sebagian pihak, tanpa kajian yang komprehensif dan mendalam terhadap hadits dan realita, langsung menghukumi bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah terkotak-kotaknya umat Islam dalam harokah ormas dan kelompok. Seolah lupa bahwa berkumpulnya umat dalam satu mazhab atau dalam satu amal Islami tidaklah bisa mengeluarkan mereka dari Firqoh Najiyah (golongan yang selamat).
Selain itu mereka juga seringkali melupakan atau mengabaikan urutan-urutan peristiwa yang mengiringi sebuah realita akhir zaman. Untuk sampai pada pemahaman yang benar dalam menyikapi nash-nash akhir zaman, maka harus melihat urutan-urutan yang disebutkan di dalam hadits. Sebagai contoh, antara peristiwa-peristiwa akhir zaman ada kembalinya khilafah ala minhajin nubuwwah, munculya imam Mahdi, keluarnya Dajjal, Turunnya Isa, penaklukan Roma, perang Malhamah Kubro. Agar memiliki pemahaman yang utuh terhadap tragedi akhir zaman, ulama harus berijtihad untuk menyusun urutan-urutan dari kejadian tersebut. Yaitu dengan mengumpulkan semua riwayat yang shohih dan merujuk kepada pendapat para salaf dalam mengurutkannya.
Hal ini menjadi mendasar, karena jangan sampai seseorang mengkaji kecocokan sebuah hadits akhir zaman dengan realita, sementara fase sebelumnya belum terjadi. Sebagai contoh, di masa lalau ekspansi kerajaan Mongol ke negeri kaum muslimin menimbulkan kerusakan yang begitu besar dan di saat yang sama bangsa Mongol memiliki ciri-ciri yang sama dengan ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj. Melihat kerusakan yang ditimbulkan dan ciri fisik yang sama kemudian sebagian orang berpendapat bahwa merekalah Ya’juj dan Ma’juj. Padahal, fase-fase sebelum keluarnya Ya’juj dan Ma’juj belum terjadi.
Berdasarkan pemikiran dan pemahaman -yang tidak utuh-  terhadap hadits-hadits akhir zaman itu mereka lalu merasa lebih istimewa dari orang-orang di luar kelompoknya, kemudian memandang rendah terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Inilah awal mula mereka menjadi eksklusif. Dan jika para ustadz mereka selalu mendoktrin bahwa itulah yang benar maka akan semakin sulit untuk merubahnya.
Kedua :
Mereka menjauhi orang-orang yang berbuat bid’ah (yang mereka sempitkan maknanya dengan setiap orang yang tidak sepaham dan menentang pendapat kelompoknya) berdasarkan sikap yang diambil oleh Rasulullah SAW kepada tiga orang sahabatnya yang tertinggal dari mengikuti Perang Tabuk.
Kisah tentang tiga orang yang tertinggal dari Perang Tabuk itu di kalangan penuntut ilmu lebih dikenal dengan hadits Ka’ab bin Malik RA. Sebuah hadits yang sangat panjang yang menjelaskan asbabun nuzul ( sebab turunnya ayat Al Qur’an ) surah At Taubah ayat 118. Hadits itu terdapat dalam Shahih Bukhari hadits no. 4066. Saya kutipkan teks terjemahan hadits tersebut (dalam riwayat Bukhari) sampai pada turunnya ayat surah At Taubah 118 :
[[[Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Bukair] Telah menceritakan kepada kami [Al Laits] dari ['Uqail] dari [Ibnu Syihab] dari ['Abdur Rahman bin 'Abdullah bin Ka'ab bin Malik] bahwa ['Abdullah bin Ka'ab bin Malik] -Abdullah bin Ka'ab adalah salah seorang putra Ka'ab yang mendampingi Ka'ab ketika ia buta- berkata; 'Saya pernah mendengar [Ka'ab bin Malik] menceritakan peristiwa tentang dirinya ketika ia tertinggal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam perang Tabuk.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Saya tidak pernah tertinggal menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam peperangan yang beliau ikuti kecuali perang Tabuk, akan tetapi saya juga pernah tertinggal dalam perang Badar. Hanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencela seorang muslim yang tidak turut dalam perang Badar. Yang demikian karena pada awal mulanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin hanya ingin mencegat kaum kafir Quraisy yang sedang berada dalam perjalanan dengan mengendarai unta hingga Allah mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu yang di sepakati sebelumnya. Saat itu saya ikut serta bersama Rasulullah pada malam Aqabah ketika kami berjanji untuk membela Islam. Menurut saya, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut serta dalam malam Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer kebanyakan orang. Di antara cerita ketika saya tidak turut serta bersama Rasulullah dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut; 'Belum pernah stamina saya betul-betul fit dan mempunyai keluasan harta daripada ketika saya tidak ikut serta dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya saya tidak menyiapkan dua ekor hewan tunggangan sama sekali dalam pelbagai peperangan. Tetapi dalam perang Tabuk ini, saya bisa menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Adalah sudah menjadi tradisi beliau Shallallahu'alaihiwasallam, beliau tidak pernah melakukan sebuah peperangan selain beliau merahasiakan tujuan peperangannya, hingga saat terjadilah perang tabuk ini, yang beliau nyatakan tujuan perangnya secara terang-terangan. Akhirnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi berangkat ke perang Tabuk pada saat cuaca sangat panas. Dapat di katakan bahwasanya beliau menempuh perjalanan yang amat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh yang berjumlah besar. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersamanya. Oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang. Ka'ab berkata; 'Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena ia ingin tidak turut serta berperang. Ia menduga bahwa ketidak turutannya itu tidak akan di ketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam -selama tidak ada wahyu yang turun mengenai dirinya dari Allah Azza Wa Jalla -. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi berperang ke perang tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, hingga saya harus memalingkan perhatian dari hasil panen tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin yang ikut serta sudah bersiap-siap dan saya pun segera pergi untuk mencari perbekalan bersama mereka. Lalu saya pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Saya berkata dalam hati; 'Ahh, saya dapat mempersiapkan perbekalan sewaktu-waktu. Saya selalu dalam teka-teki antara iya (berangkat) dan tidak hingga orang-orang semakin siap.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berangkat bersama kaum muslimin, sedangkan saya belum mempersiapkan perbekalan sama sekali. Akhirnya saya pergi, lalu saya pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Saya senantiasa berada dalam kebimbangan seperti itu antara turut serta berperang ataupun tidak, hingga pasukan kaum muslimin telah bergegas berangkat dan perang pun berkecamuk sudah. Kemudian saya ingin menyusul ke medan pertempuran -tetapi hal itu hanyalah angan-angan belaka- dan akhirnya saya ditakdirkan untuk tidak ikut serta ke medan perang. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi ke medan perang tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diri saya. Ketika keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar. Saya menyadari bahwasanya tidak ada yang dapat saya temui kecuali orang-orang yang dalam kemunafikan atau orang-orang yang lemah yang diberikan uzur oleh Allah Azza Wa Jalla. Sementara itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingat diri saya hingga beliau sampai di Tabuk. Kemudian, ketika beliau sedang duduk-duduk di tengah para sahabat, tiba-tiba beliau bertanya; 'Mengapa Ka'ab bin Malik tidak ikut serta bersama kita? ' Seorang sahabat dari Bani Salimah menjawab; 'Ya Rasulullah, sepertinya Ka'ab bin Malik lebih mementingkan dirinya sendiri daripada perjuangan ini? ' Mendengar ucapan sahabat tersebut, Muadz bin Jabal berkata; 'Hai sahabat, buruk sekali ucapanmu itu! Demi Allah ya Rasulullah, saya tahu bahwasanya Ka'ab bin Malik itu adalah orang yang baik.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diam. Ketika beliau terdiam seperti itu, tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai helm besi yang sulit di kenali. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Kamu pasti Abu Khaitsamah? ' Ternyata orang tersebut adalah memang benar-benar Abu Khaitsamah Al Anshari, sahabat yang pernah menyedekahkan satu sha' kurma ketika ia dicaci maki oleh orang-orang munafik. Ka'ab bin Malik berkata; 'Ketika saya mendengar bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersiap-siap kembali dari perang Tabuk, maka saya pun diliputi kesedihan. Lalu saya mulai merancang alasan untuk berdusta. Saya berkata dalam hati; 'Alasan apa yang dapat menyelamatkan diri saya dari amarah Rasulullah? ' Untuk menghadapi hal tersebut, saya meminta pertolongan kepada keluarga yang dapat memberikan saran. Ketika ada seseorang yang berkata kepada saya bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hampir tiba di kota Madinah, hilanglah alasan untuk berdusta dari benak saya. Akhirnya saya menyadari bahwasanya saya tidak dapat berbohong sedikit pun kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, saya pun harus berkata jujur kepada beliau. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di kota Madinah. Seperti biasa, beliau langsung menuju Masjid - sebagaimana tradisi beliau manakala tiba dari bepergian ke suatu daerah - untuk melakukan shalat. Setelah melakukan shalat sunnah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam langsung bercengkrama bersama para sahabat. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang tidak sempat ikut serta bertempur bersama kaum muslimin seraya menyampaikan berbagai alasan kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak turut serta bertempur itu sekitar delapan puluh orang lebih. Ternyata Rasulullah menerima keterus terangan mereka yang tidak ikut serta berperang, membai'at mereka, memohon ampun untuk mereka, dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah. Selang beberapa saat kemudian, saya datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah saya memberi salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah. Kemudian beliau pun berkata; 'Kemarilah! ' Lalu saya berjalan mendekati beliau hingga saya duduk tepat di hadapan beliau. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: 'Mengapa kamu tidak ikut serta bertempur bersama kami hai Ka'ab? Bukankah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu untuk Islam? ' Saya menjawab; 'Ya Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di dekat orang selain diri engkau, niscaya saya yakin bahwasanya saya akan terbebaskan dari kemurkaannya karena alasan dan argumentasi yang saya sampaikan. Tetapi, demi Allah, saya tahu jika sekarang saya menyampaikan kepada engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat engkau tidak marah, tentunya Allah lah yang membuat engkau marah kepada saya. Apabila saya mengemukakan kepada engkau ya Rasulullah alasan saya yang benar dan jujur, lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan tersebut, maka saya pun akan menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberi hukuman kepada saya dengan ucapan saya yang jujur tersebut. Demi Allah, sesungguhya tidak ada uzur yang membuat saya tidak ikut serta berperang. Demi Allah, saya tidak berdaya sama sekali kala itu meskipun saya mempunyai peluang yang sangat longgar sekali untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.' Mendengar pengakuan yang tulus itu, Rasulullah pun berkata: 'Orang ini telah berkata jujur dan benar. Oleh karena itu, berdirilah hingga Allah memberimu keputusan." Akhirnya saya pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Tak lama kemudian, ada beberapa orang dari Bani Salimah beramai-ramai mengikuti saya seraya berkata; 'Hai Ka'ab, demi Allah, sebelumnya kami tidak mengetahui bahwasanya kamu telah berbuat suatu kesalahan/dosa. Kamu benar-benar tidak mengemukakan alasan kepada Rasulullah sebagaimana alasan yang dikemukakan para sahabat lain yang tidak turut berperang. Sesungguhnya, hanya istighfar Rasulullah untukmulah yang menghapus dosamu.' Ka'ab bin Malik berkata setelah itu; 'Demi Allah, mereka selalu mencerca saya hingga saya ingin kembali lagi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu saya dustakan diri saya.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Apakah ada orang lain yang telah menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seperti diri saya ini? ' Orang-orang Bani Salimah menjawab; 'Ya. Ada dua orang lagi seperti dirimu. Kedua orang tersebut mengatakan kepada Rasulullah seperti apa yang telah kamu utarakan dan Rasulullah pun menjawabnya seperti jawaban kepadamu.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Lalu saya pun bertanya; 'Siapakah kedua orang tersebut hai para sahabat? ' Mereka, kaum Bani Salimah, menjawab; 'Kedua orang tersebut adalah Murarah bin Rabi'ah Al Amin dan Hilal bin Ummayah Al Waqifi.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Kemudian mereka menyebutkan dua orang sahabat yang shalih yang ikut serta dalam perang Badar dan keduanya layak dijadikan suri tauladan yang baik. Setelah itu, saya pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepada saya.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Beberapa hari kemudian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai menjauhi dan berubah sikap terhadap kami bertiga hingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya, bumi ini bukanlah bumi yang pernah saya huni sebelumnya dan hal itu berlangsung lima puluh malam lamanya.' Dua orang teman saya yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu kini bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis, sedangkan saya adalah seorang anak muda yang tangguh dan tegar. Saya tetap bersikap wajar dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Saya tetap keluar dari rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri shalat jama'ah bersama kaum muslimin lainnya, dan berjalan-jalan di pasar meskipun tidak ada seorang pun yang sudi berbicara dengan saya. Hingga pada suatu ketika saya menghampiri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil memberikan salam kepadanya ketika beliau berada di tempat duduknya usai shalat. Saya bertanya dalam hati; 'Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak? Kemudian saya melaksanakan shalat di dekat Rasulullah sambil mencuri pandangan kepada beliau. Ketika saya telah bersiap untuk melaksanakan shalat, beliau memandang kepada saya. Dan ketika saya menoleh kepadanya, beliaupun mengalihkan pandangannya dari saya.' Setelah lama terisolisir dari pergaulan kaum muslimin, saya pun pergi berjalan-jalan hingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah. Abu Qatadah adalah putera paman saya (sepupu saya) dan ia adalah orang yang saya sukai. Sesampainya di sana, saya pun mengucapkan salam kepadanya. Tetapi, demi Allah, sama sekali ia tidak menjawab salam saya. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya; 'Hai Abu Qatadah, saya bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu tidak mengetahui bahwasanya saya sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya? ' Ternyata Abu Qatadah hanya terdiam saja. Lalu saya ulangi lagi ucapan saya dengan bersumpah seperti yang pertama kali. Namun ia tetap saja terdiam. Kemudian saya ulangi ucapan saya dan ia pun menjawab; 'Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui tentang hal ini.' Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mata saya dan saya pun kembali ke rumah sambil menyusuri kebun tersebut. Ketika saya sedang berjalan-jalan di pasar Madinah, ada seorang laki-laki dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya; 'Siapakah yang dapat menunjukkan kepada saya di mana Ka'ab bin Malik? ' Lalu orang-orang pun menunjukkan kepada saya hingga orang tersebut datang kepada saya sambil menyerahkan sepucuk surat kepada saya dari raja Ghassan. Karena saya dapat membaca dan menulis, maka saya pun memahami isi surat tersebut. Ternyata isi surat tersebut sebagai berikut; 'Kami mendengar bahwasanya temanmu (maksudnya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) telah mengisolirmu dari pergaulan umum, sementara Tuhanmu sendiri tidaklah menyia-nyiakanmu seperti itu. Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami, niscaya kami akan menolongmu.' Selesai membaca surat itu, saya pun berkata; 'Sebenarnya surat ini juga merupakan sebuah bencana bagi saya.' Lalu saya memasukkannya ke dalam pembakaran dan membakarnya hingga musnah. Setelah empat puluh hari lamanya dari pengucilan umum, ternyata wahyu Tuhan pun tidak juga turun. Hingga pada suatu ketika, seorang utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi saya sambil menyampaikan sebuah pesan; 'Hai Ka'ab, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanmu untuk menghindari istrimu.' Saya bertanya; 'Apakah saya harus menceraikan atau bagaimana? ' Utusan tersebut menjawab; 'Tidak usah kamu ceraikan. Tetapi, cukuplah kamu menghindarinya dan janganlah kamu mendekatinya.' Lalu saya katakan kepada istri saya; 'Wahai istriku, sebaiknya engkau pulang terlebih dahulu ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama dengan mereka hingga Allah memberikan keputusan yang jelas dalam permasalahan ini.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Tak lama kemudian istri Hilal bin Umayyah pergi mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil bertanya; 'Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah lanjut usia dan lemah serta tidak mempunyai pembantu. Oleh karena itu, izinkanlah saya merawatnya.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: 'Jangan. Sebaiknya kamu tidak usah menemaninya terlebih dahulu dan ia tidak boleh dekat denganmu untuk beberapa saat.' Isteri Hilal tetap bersikeras dan berkata; 'Demi Allah ya Rasullah, sekarang ia itu tidak mempunyai semangat hidup lagi. Ia senantiasa menangis, sejak mendapatkan permasalahan ini sampai sekarang.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Beberapa orang dari keluarga saya berkata; 'Sebaiknya kamu meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah dalam masalah istrimu ini. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah memberikan izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam persoalan istri saya ini. Karena, bagaimanapun, saya tidak akan tahu bagaimana jawaban Rasulullah nanti jika saya meminta izin kepada beliau sedangkan saya masih muda belia.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Ternyata hal itu berlangsung selama sepuluh malam hingga dengan demikian lengkaplah sudah lima puluh malam bagi kami terhitung sejak kaum muslimin dilarang untuk berbicara kepada kami. Ka'ab bin Malik berkata; 'Lalu saya melakukan shalat fajar pada malam yang ke lima puluh di bagian belakang rumah. Ketika saya sedang duduk dalam shalat tersebut, diri saya diliputi penyesalan dan kesedihan. Sepertinya bumi yang luas ini terasa sempit bagi diri saya. Tiba-tiba saya mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya menembus cakrawala; 'Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah! ' Maka saya pun tersungkur sujud dan mengetahui bahwasanya saya telah terbebas dari persoalan saya. Ka'ab bin Malik berkata; 'Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan kepada kaum muslimin usai shalat Shubuh bahwasanya Allah SWT telah berfirman...]]]
Dalam hadits itu Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengucilkan tiga orang itu sebab tertinggalnya mereka dari mengikuti Perang Tabuk tanpa udzur yang dapat dibenarkan. Pengucilan itu atas perintah Rasulullah SAW sampai Allah SWT menurunkan wahyu dalam perkara itu. Kisah dalam hadits itu memang syarat akan pelajaran tentang kejujuran dan tekad yang tulus dalam taubat. Imam Nawawi –rahimahullah- memasukkan hadits ini di dalam kitabnya yang monumental “ Riyadhus Shalihin” dalam bab Taubat.
Tetapi saya menemui orang-orang yang berpikiran sempit yang menjadikan hadits di atas sebagai pembenaran dari sikap mereka menjauhi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka beralasan bahwa dalam hadits itu Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengucilkan tiga orang yang “hanya” bermaksiat dalam satu perkara yaitu tidak mengikuti Perang Tabuk yang telah diwajibkan oleh Rasulullah SAW kepada semua kaum muslimin yang tidak memiliki udzur pada waktu itu. Lalu bagaimana dengan orang yang tauhidnya cacat atau sehari-hari banyak melakukan bid’ah dalam ibadahnya ? Begitulah pemikiran mereka.
Mereka melupakan bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya itu dilakukan ketika Islam telah memiliki “kekuasaan”, kemudian atas perintah Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi ummat Islam, dilakukan oleh semua kaum muslimin, dan berlaku untuk kondisi saat itu. Artinya, kaum muslimin boleh melakukan sebagaimana dalam hadits itu apabila setidaknya terpenuhi dua syarat yaitu : ummat Islam sedang berkuasa (memiliki kekuasaan), dan atas perintah pemimpin kaum muslimin. Dia tidak bisa melakukannya sendiri dan berdasarkan pendapat pribadinya.
Sebenarnya sangat  mengherankan jika kita mau berpikir lebih dalam. Pada kisah yang terdapat dalam hadits Ka’ab bin Malik RA di atas yang terjadi adalah seluruh kaum muslimin memboikot atau mengucilkan tiga orang yang bersalah. Sedangkan yang terjadi pada sekelompok orang berpikiran sempit itu adalah sebaliknya, mereka yang –jumlahnya sangat kecil- mengasingkan diri dari kaum muslimin. Bukankah demikian ? ISIS mendeklarasikan khilafah yang konon bagi seluruh kaum muslimin tapi pada prakteknya mereka mudah mengkafirkan atau setidaknya mengecam dan mencela kelompok-kelompok yang tidak mau bergabung atau berbaiat kepada mereka. Bukankah ini aneh ?
Ketika orang yang baru belajar sedikit tentang Islam menjadikan hadits ini sebagai alasan atas sikapnya menjauhi orang-orang yang menurutnya ahli bid’ah atau tauhidnya nggak benar, tentu akan merugikan banyak pihak termasuk dirinya sendiri. Orang seperti ini tidak memahami bahwa ada perbuatan-perbuatan baik yang masih harus dilakukan kepada sesama, bahkan Islam juga mengajarkan bagaimana adab dan akhlaq terhadap musuh. Betapa banyak terjadi di masa lalu panglima perang atau pemimpin kelompok di sebuah negeri yang sedang berperang menghadapi pasukan Islam membelot kepada pihak pasukan Islam karena terkesan dengan akhlaq para pasukan Islam.
Bukankah seharusnya ketika seseorang merasa lebih berilmu, ia memandang orang-orang yang belum mengetahui sebagaimana yang ia ketahui dengan pandangan kasih sayang, atau seperti pandangan seorang dokter kepada pasiennya. Yaitu justru mendekatinya, menasehatinya, dan mengobatinya. Bukan dengan seperti  pandangan seorang hakim yang hanya bisa memvonis ini salah, itu salah, ini bid’ah itu sesat, dsb, tanpa melakukan upaya perbaikan pada orang yang ia vonis itu. Bukankah dakwah adalah kewajiban setiap muslim ?
Betapa banyak di sekitar kita orang yang pandai memvonis tetapi tidak tahu cara memperbaikinya. Betapa banyak di sekitar kita orang yang pandai mencela keadaan tetapi tidak tahu solusi untuk memperbaiki keadaan itu, atau bahkan banyak yang tidak mau berusaha menemukan solusinya. Saya yakin untuk fenomena yang ini, di luar pendukung ISIS pun banyak terjadi.
Dan saya mengajak agar kita semua berusaha menyikapi orang-orang seperti itu  dengan benar, dengan tetap berbuat baik kepada mereka, dan saling mengingatkan dengan bijak. Jika mereka menolak pun kita tidak boleh berputus asa, karena itu adalah kewajiban kita, dan tetaplah berbuat baik sambil terus berdoa kepada Allah SWT agar mereka ditunjuki kepada jalan yang benar.
Saya cukupkan sampai di sini serial “ Pengalaman Bersama Jihadis”. Saya rasa sudah cukup uraian saya tentang fenomena seputar radikalisme di Indonesia dari sudut pandang dan pengalaman seorang mantan napiter. Semoga setelah mengetahui semua ini, Anda menjadi semakin bersemangat atau tergugah untuk ikut bersama-sama mencegah radikalisme dan memutus rantai radikalisme di Indonesia yang kita cintai ini. Karena radikalisme yang mengatasnamakan ajaran agama adalah musuh kita semua.
Mencegah penyebaran radikalisme ini bukan hanya tugas para ulama atau aparat pemerintah, tetapi tugas kita semua. Jika kita tidak peduli dan cenderung membiarkan orang-orang yang mulai terpapar paham radikal, maka sedikit atau banyak kita punya andil kesalahan dalam tersebarnya paham radikal di negeri kita ini. Setidak-tidaknya kita harus aktif membentengi generasi muda kita dari paham radikal dengan memberikan pendidikan agama yang cukup dan mengajarkan tentang bagaimana memahami kondisi yang sedang terjadi, agar tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar