Sabtu, 10 Februari 2018

Pengalaman Bersama Jihadis (3)



Masih seputar pemahaman tauhid versi kelompok radikal, kali ini adalah tentang bagaimana mereka menjadikan pemahaman tauhid mereka itu sebagai dasar hukum dalam menghukumi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau orang-orang yang mengganggu kenyamanan kelompok mereka, atau orang-orang yang tidak mau mendukung mereka. Semuanya sebisa mungkin akan mereka bawa ke ranah tauhid, lalu dihukumi berdasarkan tauhid itu, sehingga yang lahir nantinya adalah vonis “kafir”, “murtad”, “Islamnya tidak benar”,” Islamnya diragukan”, dsb. Hal ini terutama terjadi pada para pengikut ustadz radikal karena sempitnya pemahaman dan ilmu mereka. Yang mereka tahu hanya tauhid...tauhid...dan tauhid. Yang mereka tahu hanya status kafir, murtad, muwahhid, thaghut, anshar tahghut, dll.
Mereka tidak mengenal apa itu adab bertetangga, adab pergaulan dengan sesama manusia, berbuat baik kepada sesama, berbuat baik untuk kepentingan bersama, dan seterusnya. Sehingga ketika ada sesama napiter yang dekat dan baik dengan para sipir dan petugas lapas, yang shalat di masjid Lapas, yang mengikuti kegiatan pembinaan oleh Lapas maupun BNPT, dan sebagainya, semuanya dihukumi telah kafir murtad karena telah tunduk kepada negara dan aparatnya yang mereka anggap sebagai thaghut.
Pernah ada kisah seorang napiter yang aktif setiap hari bekerja dengan sukarela (bahkan peralatan kebersihan pun dia beli sendiri) membersihkan lingkungan blok hunian, merawat tanamannya, dll, malah dicela dan dikatakan padanya, “ kenapa antum membantu mereka (anshar thaghut=aparat negara) merawat tempat ini ? Ini kan tugas mereka. Mereka itu bagian dari musuh yang memenjarakan kita, jangan memudahkan urusan mereka”. Ikhwan napiter itu hanya tertawa dan tetap terus bekerja tanpa peduli dengan perkataan teman-temannya yang radikal itu, dan akhirnya malah dijauhi karena dianggap telah membantu thaghut. Tetapi lucunya ketika teman-temannya yang radikal itu butuh bantuan petugas untuk sebuah keperluan, mereka tak malu untuk meminta tolong kepada napiter yang mereka jauhi itu. Di tempat lain saya mendengar cerita bahwa para napiter radikal sehari-hari tidak mau menyapa atau bergaul dengan petugas lapas, tetapi ketika mereka butuh bantuan petugas Lapas untuk sebuah keperluan atau fasilitas, mereka tak malu untuk memintanya yang kadang disertai intimidasi. Itulah mungkin prinsip pergaulan mereka, mendekat jika butuh dan mencela atau menjauh ketika tidak butuh karena adanya sebuah perbedaan pendapat atau kesalahan.
Sebelum saya lanjutkan lagi, perlu saya jelaskan kenapa saya mungkin hanya akan terfokus pada fenomena kelompok radikal di antara para napiter yang ada. Saya fokus pada fenomena kelompok radikal karena mereka inilah yang paling berbahaya dan paling nekat. Kita perlu melibatkan semua pihak untuk menghentikan pemahaman dan pemikiran radikal mereka. Sedangkan kelompok moderatnya mereka bisa berdamai dan cenderung memahami kondisi yang ada, sehingga mereka terlihat lebih tenang dan lebih dewasa dalam pergaulan, serta mau mengikuti proses pembinaan yang ada di lapas-lapas.
Kelakuan orang-orang radikal itu memang keterlaluan. Sombong, bodoh, tak punya adab, maunya menang sendiri, egois, fanatisme golongan, semua jadi satu dalam sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Dan semua itu berangkat dari sempitnya ilmu dan pemahaman mereka. Mereka merasa seakan-akan yang memperjuangkan dan membela Islam hanya mereka dan tidak perlu bekerjasama dengan kelompok lain. Ini kesombongan yang luar biasa menurut saya.
Ada juga pernyataan mereka yang sangat kontradiktif dengan kenyataan. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak sombong dan tidak merasa paling benar. Tetapi perkataan dan tindakannnya setiap hari yang mencela orang lain, mencela kelompok lain, menjatuhkan pribadi seseorang, menjauhi seseorang yang tidak sependapat dengan mereka, dll, bukankah yang seperti itu justru merupakan bukti bahwa mereka itu sombong dan merasa paling benar ? Mereka ingin dilihat benar, ingin dilihat tinggi tetapi dengan cara mencela dan menjatuhkan orang lain.
Padahal yang baru mereka ketahui itu adalah salah satu bagian agama Islam yang sangat luas. Ibarat orang buta yang baru memegang kaki gajah lalu menyimpulkan bahwa gajah itu berbentuk seperti bambu yang besar dan berkulit tebal. Kemudian dia bercerita kemana-mana bahwa bentuk gajah adalah seperti itu dan tidak mau menerima pendapat orang lain yang menyatakan gajah tidak seperti itu. Konyol bukan ?
Pesan saya : Jika kita tidak bisa menyadarkan mereka, maka kita harus bisa mengajak orang untuk tidak mengikuti ajakan mereka, dan pemikiran mereka. Jika tidak ada orang yang mau mengikuti mereka, siapa tahu akhirnya mereka sadar.
( Bersambung, In sya Allah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar